Selasa, 25 Januari 2022

(Sudah) SELESAI


   
Di kota ini adalah awal langkah terberat di hidupku, menopang beban dari kerasnya kota metropolitan dan ketidakadilan sang pencipta dimana aku berusaha sekuat tenaga menjadi seorang kakak sekaligus orang tua bagi adik ku. Nadira namanya, gadis berumur 10 tahun yang menderita kanker sel darah  putih atau yang sering disebut leukima sejak dia berumur 1 tahun, yang harus merasakan sakit yang teramat pada bagian kepala dan sering kali mengeluarkan darah pada bagian hidung/mimisan,serta harus meminum ratusan obat-obatan itu untuk menyambung hidup nya.
    Dan aku Rindu, seorang remaja yang akan melakukan apapun demi kesembuhan adiknya sekalipun harus menjadikan dirinya sebagai seorang kupu-kupu malam, menjatuhkan harga dirinya untuk membeli sesuap nasi dan perawatan adiknya. Kedua orang tua kami meninggal 7 tahun lalu karena kecelakaan maut yang membuat kami hidup sebatang kara tanpa arah dan tujuan, Nadira tak pernah tau apa pekerjaaan ku selama ini, aku pun tak sampai hati menceritakan nya dia hanya tau aku bekerja di salah satu kafe setiap malam sebagai kasir.
"kak Rindu hari ini tidak bekerja?" tanya Nadira
"bekerja kok dek, kenapa?"
"hmm obat Nadira habis kak"
''besok kita beli ya, kamu tenang saja dek" 
Percakapan itu sering kali kami katakan yang membuat dada ini seketika sesak memaksaku harus bekerja lebih keras lagi dan memaksaku menemani laki-laki bejat itu, tapi aku tidak ada pilihan lain, aku tidak peduli tentang hidupku, aku hanya mau Nadira tetap hidup dan aku tetap melihatnya setiap hari dirumah ini.
     Tepat pukul 7 malam aku segera menyiapkan diri untuk berangkat bekerja, pekerjaan kotor itu.
Memasukan pakaian-pakaian itu serta semua make up, aku selalu simpan perlengkapanku di tempat yang aman berharap Nadira tidak menemukannya.
"Alena... om sudah sampai nih kamu dimana?"
"Tunggu didepan perempatan kota ya, aku segera kesana"
Mereka memanggilku Alena sengaja aku mengganti  namaku agar tidak ada yang mengetahui siapa aku sebenarnya. Tidak ada yang bahagia dengan pekerjaan ini, sekalipun mereka memberiku begitu banyak uang dan menjanjikan segala kebutuhan ku dan Nadira. Aku tau ini sangat menjijikan bahkan aku tak mampu mengampuni diriku sendiri.Tak sekali dua kali aku di labrak oleh salah satu istri laki-laki itu,bahkan sempat aku di laporkan ke polisi karna telah menjalin hubungan gelap dengan suaminya, namun aku memohon bahkan sujud kepada mereka agar tidak dimasukan ke sel penjara.
    Wanita mana yang tidak sakit hati ketika suaminya membayar gadis untuk menemani malamnya dan menjalin hubungan gelap, akupun jika berada di posisi mereka mungkin akan melakukan hal yang sama.
     Sesampainya aku di perempatan jalan sesuai janji, aku segera masuk kedalam mobil dan menuju ke salah satu hotel bintang 5.
''Nanti uangnya aku transfer saja ya...." kata lak-laki itu
''tapi janji ya...soalnya aku butuh banget om" kataku merayu
    Hari sangat cepat berganti, setelah pekerjaan ku selesai aku bergegas kembali kerumah. Sebelum itu aku mampir ke apotek terlebih dahulu untuk membelikan Nadira obat dan sebungkus nasi padang kesukaan nya. Tidak ada yang paling berarti di dunia selain kebahagiaan Nadira
''kak Rindu sudah pulang?" tanya Nadira yang menyambutku di ruang tamu
''sudah dek, eh kakak membawa nasi padang kesukaan kamu loh... dimakan ya sayang" jawabku 
"wahhh makasih ya kak...kakak memang terbaik deh"
     Malam ini aku tidak bekerja karna memang tidak ada panggilan dan aku ingin menemani Nadira karena ia mengeluh kepalanya sakit.
"kak kepala Nadira sakit lagi..." kata Nadira yang semakin pucat
"kakak ambilkan minum dulu ya dek"
Aku yang segera berlari ke dapur untuk membuatkan teh hangat, saat aku membuatkan teh hangat terdengar sesuatu terjatuh dari arah kamar Nadira.
"GUBRAAKKK"
Sontak aku yang terkejut langsung berlari menuju kamar Nadira, saat aku membuka kamarnya Nadira sudah terjatuh pingsan di bawah ranjang dengan darah mengucur di hidung nya.
"Dek bangun...Nadira bertahan sayang kakak segera bawa kamu kerumah sakit yah" kataku.
Suasana semakin panik ketika mata Nadira mulai sayup dan setengah tertutup, aku segera menelfon ambulance dan kami pun berangkat menuju rumah sakit terdekat.
"kak Rindu... Nadira nggak papa kok, kak Rindu jangan menangis"  suara Nadira yang semakin melemas
"Nadira kakak disini, Nadira harus temani kakak terus ya kakak nggak mau sendiri" 
Air mataku yang tak terbendung di sepanjang perjalanan ke rumah sakit, kondisi ini pernah terjadi 3 tahun yang lalu, namun Nadira masih selamat dan aku berharap kali ini Tuhan masih berbaik hati padaku.
      Sesampainya disana Nadira langsung di arahkan ke ruang oprasi, dan aku segera mengurus segala administrasi agar Nadira segera ditangani.
"Dok selamatkan adek saya ya....."kataku dengan suara sesegukan
"kami akan mengusahakan yang terbaik untuk saudara Nadira ya bu"
      2 jam pun tak terasa sudah berjalan namun belum ada tanda-tanda dari pihak dokter selesai, pikiran ini mulai cemas hiruk-pikuk suasana menambah kegelisahan.
Jika Nadira mampu melewati masa sulit ini sekali lagi aku berjanji akan memberikan apa saja yang dia mau, membawa dia mengelilingi dunia seperti impian nya membelikan boneka sebanyak yang dia mau dan membuatkan nya kue kesukaan nya setiap hari.
     Terdengar suara pintu terbuka dari ruang Nadira, akupun bergegas mengahampiri dokter spesialis yang menangani operasi Nadira.
"bagaimana keadaan adek saya dok, dia selamatkan?saya bisa melihatnya sekarang?" kataku penuh harap.
Namun aku tidak melihat raut wajah kepuasan dari dokter tersebut, bahkan saat aku menanyakan pertanyaan itu, dokter itu hanya tertunduk saja tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
"kok doketr diem aja sih,? saya sedang bertanya loh!!"
"maaf bu Rindu, kami sudah berusaha semampu kami namun Tuhan lebih sayang saudara Nadira"
Kata-kata itu seakan merenggut juga nyawaku tangisku semakin menjadi-jadi, lalu aku harus apa setelah ini?Ayah dan ibu sudah pergi lalu Nadira pun juga ikut menyusul mereka.
Aku yang masuk keruang terakhir Nadira menangis berharap tuhan mengembalikan nyawa adik ku, tidak ada kata yang mampu aku ucapkan. Aku melihat Nadira terbujur kaku dengan mulut membiru tanpa hembusan nafas.
    Aku yang mengantarkan Nadira ke pemakaman merasa gagal menjaganya tetap hidup, merasa gagal menjadi kakak yang baik merasa gagal atas titipan ayah dan ibu.
Taburan bunga itu seakan mengugurkan  hidupku pula, membawaku kedalam kekelaman yang semakin dalam, semua orang di pemakaman itu hanya memeluk ku dengan erat memintaku untuk ikhlas mengantarkan Nadira di tempat peristirahatan terakhirnya.
   Sebulan kemudian,aku tak lagi bekerja dalam pekerjaan kotor itu karena untuk apa lagi bahkan hidupku sudah tidak berguna setelah ini. Aku masih mengingat hentakan kaki Nadira melihat dia bermain diteras memasakan makanan untuk kita sarapan dan masih banyak. Saat aku memutuskan untuk membersihkan kamar Nadira dan membereskan sisa barang yang ada ,aku melihat obat-obatan itu yang setiap hari harus ia telan berbagai bentuk berbagai warna, aku yakin Nadira tak menyukai itu namun aku selalu memaksanya untuk minum, sangat jahat bukan.
   Entah apa yang aku pikirkan saat itu, aku mengambil segenggam obat-obatan itu dan mengambil segelas air. Aku tak tau apa yang akan terjadi setelah obat-obatan itu aku paksa masuk kedalam tubuhku yang pasti setidaknya aku bisa merasakan apa yang Nadira rasakan selama ini.
   Perutku mulai terasa sangat panas dan tenggorokan ini terasa tercekik semua saraf mulai tidak berfungsi sebagai mana mestinya ,aku merasa ajalku sudah sampai diujung mata aku tak mampu membuka mata dan merasakan sakit yang teramat, aku terjatuh aku hanya mendengar teriakan beberapa orang memanggil namaku dan meminta pertolongan namun aku tidak bisa merasakan apapun lagi.
   Aku berharap Tuhan tidak menyelamatkanku setelah ini agar semua selesai dan aku bisa berkumpul bersama ayah,ibu,dan adiku Nadira di tempat yang abadi





Rabu, 19 Januari 2022

Perempuan bercadar hitam itu?

 Lateefa Halimah.


    Kata siapa bahwa hubungan yang lama akan menjamin hidup bahagia dan happy ending ini bukan sinetron atau film ftv kan, bisa saja kau hanya akan menjadi teman atau  penyemangat hidup nya saja, tidak ada yang tau bukan?

Kisah ini berawal saat kami wisuda di salah satu kampus terbesar di Jakarta, terlihat baik-baik saja dan acara berjalan dengan baik.Dengan menggunakan toga dan kebaya yang indah membuatku merasa sangat cantik bak seorang putri keraton.Lalu lalang mahasiswa lain nampak menghiasi aula kampus, saling berjaba tangan, mengabadikan moment, hingga berbicara rencana kedepan setelah ini. Ada yang langsung menikah, ada yang mau bekerja di perusahaan besar bahkan juga ada yang mau rebahan dulu menikmati masa kebebasan tanpa buku dan tugas. Aku hanya bisa tersenyum waktu itu.

      Aku mencari sosok di aula itu, sosok yang sangat penting bagiku. Dan dia ada di bangku paling belakang dekat pintu keluar bersama segerombolan teman sekelasnya lengkap memakai atribut wisuda.Akupun langsung menghampiri nya.

"hai Zayn,, selamat ya keren banget deh kamu" sapaku.

"hai sayang, makasih ya akhirnya kita lulus juga" Jawabnya.

ya, dia adalah Zayn kekasihku dan aku Zena kekasihnya, kita sudah lama menjalin hubungan mulai dari bangku SMA hingga sekarang lulus kuliah, kami sengaja memilih universitas yang sama agar bisa bersama-sama, terlalu kekanak-kanakan tapi ya begitulah kita.

        Setelah acara selesai aku dan Zayn lanjut mencari makan di kantin belakang kesukaan kami, bakso urat pak Darmo. Di sepanjang lorong terlihat banyak kebahagiaan dari mahasiswa lain. 

"Pak Darmo, seperti biasa yaa..." Ujar Zayn 

"Siap mas Zayn, satu engga pakai bawang goreng satunya lagi engga pakai mie bihun dan dua es teh tanpa gula kan ?" 

"jangan lupa pakai kuah ya pak, kemarin engga pakai kuah saya kira capjay haha.." kata Zayn, aku lantas mencubit dia. 

Begitulah pak Darmo saking seringnya kita makan bakso disana beliau sampai hafal menu favorit kami.

       Selesai makan, kita melanjutkan perjalanan pulang karena waktu sudah menunjukan pukul 15.00 dan mendung mulai berada diatas kepala. Karena rumah kami dekat dengan kampus kami selalu pulang dengan jalan kaki kalaupun harus membawa motor itu kalau kita telat saja.

"Ini atribut sengaja ga di lepas untuk apa sih?" tanyaku

"Biar orang-orang tau kalau ada 2 orang pinter  yang sekarang udah lulus sarjana" sambil melirik gemas di sampingku

"haha kocak banget deh" jawabku ketawa.

Aku selalu merasa aman ketika Zayn bersamaku meskipun seribu orang  mengucilkan aku, aku sama sekali tidak peduli. Dia selalu melakukan hal-hal konyol lainnya sampai membuat perut ini mulas, mulai dari sepatu merah jambu yang selalu dia pakai ke kampus, babydoll yang sering dia pakai untuk jogging bersamaku, hingga bando kelinci favorite yang biasa dia pakai saat kita melihat film avanger  di bioskop.

Keesokan harinya terdengar pintu rumahku diketuk, pukul 6 pagi bahkan aku sendiri masih terlelap dengan boneka gajahku.Terdengar mamaku yang membukakan pintu.

"Zee nya ada tante?" Ternyata Zayn rupanya, yang sengaja datang kerumah untuk mengajak ku lari pagi seperti biasa.

"Ada nak Zayn, masuk dulu yuk" ujar mama

"iya tante"

"Mau jogging ya?" tanya mama.

''kok tau tante?"

"Soal nya itu pakai baju babydoll yang biasanya haha" 

Seketika suasana sangat terasa hangat, Zayn pun tersipu malu sambil menggarukan kepalanya.Mereka memang sangat dekat, aku yang mengintip dari celah pintu kamar, dalam hati berharap momen ini akan terus aku lihat sampai aku tua nanti.

       Kami pun beranjak lari mengelilingi komplek perumahan, lalu mampir ke alun-alun kota untuk mencari segelas es campur langganan aku dan Zayn.Sembari duduk dan meminum es campur itu sontak aku bertanya kepada Zayn

"Lalu bagaimana?'' tanyaku.

''Apanya?es nya?" jawab Zayn menoleh ke arahku

"Kedepan nya... kita!"

''ohh iya iya, kalau aku pasti akan bekerja Zee..." jawab Zayn sambil tetap lahap meminum es campurnya.

"Bekerja doang nih?" tanyaku mengeyel.

"yaaa lalu melamarmu, di atas monas haha" 

"tinggi banget...." jawabku aneh

"biar tidak ada alasan kamu untuk menolak, kalau kamu menolak akan aku lempar kamu kebawah haha..." cekik Zayn 

Andai kata-kata itu benar nyata, aku tak akan memberi sedikitpun alasan untuk menolak bahkan ketika dia berusaha keluar dari bumi ini aku akan tetap memaksa untuk ikut, kecuali dia yang menyuruhku tinggal sendiri.

Setelah cukup lama kita duduk akhirnya kita memutuskan untuk pulang kerumah masing-masing, menyiapkan planning untuk kedepan nya.

Pukul menunjukan jam 8 malam, terdengar handphone ku berbunyi seakan ada yang menelefon dngan cepat aku langsung mengangkatnya dan ternyata itu Zayn

 "halo sayang, aku ada kabar baik banget lohh..." ucap Zayn ditelfon dengan nada bahagia

"oiya apa?" tanyaku penasaran

''Aku diperboleh kan sama papa untuk meneruskan perusahaan nya di Maroko...''

Seketika jantung ini terasa berhenti berdetak dan mulai  kehilangan fungsinya.

" halo sayang ?" sentak Zayn memastikan aku masih mengangkat telfon nya.

"oh iya halo... emm bagus sayang iya gak papa bagus untuk karir kamu hehe" dengan nadaku gelagap seakan ingin menolak dengan keras 

"kamu support kan?" tanya nya cemas.

"emm iya iya pasti aku support, pasti sayang" jawab ku

Andai aku tak pernah berkata itu anda saja aku tak pernah membiarkan dia pergi begitu saja dan andai saja aku tidak mengiyakan.

         Hari keberangkatan Zayn pun tiba, aku bersama Zayn dan keluarganya mengantarkan dia ke bandara, detik-detik perpisahan itu sangat jelas di kedua mata, terasa ada kekhawatiran yang sangat besar tapi masih kupaksa dengan lambaian tangan dan sedikit senyuman.

'' Aku bakal balik kok, titip papa sama mama ya Zee..."  kata Zayn

Aku tidak menyangka bahwa kata-kata itu sangat berat untuk aku terima ,tidak seperti biasa saat dia pamit ke rumah teman atau bahkan membeli segelas coklat panas.

Setelah itu aku dan orang tua Zayn beranjak pulang, sepanjang jalan aku hanya melihat keluar jendela melihat pesawat itu lepas landas berharap hari ini adalah mimpi dan kamu masih duduk di sampingku di dalam mobil memimun segelas coklat panas atau snack kesukaan kita.

"Zee? kamu gak papa kan?" tanya mama Zayn

"oiya gak papa kok tante hehe" jawabku senyum tipis.

Beberapa hari setelah kepergian Zayn ke Maroko kita masih baik-baik saja, masih menelfon, video call, dan Zayn juga masih suka memakai babydoll kesukaan nya. Hanya saja sekarang dia tak nampak di hadapan ku lagi dan tidak menggenggam tangan ku lagi saat menyebrang jalan.

     Beberapa bulan kemudian terdengar berita kematian papa Zayn yang sangat mengejutkan ku, setelah selesai sholat dhuhur aku bergegas ke rumahnya dengan pakain hitam dan wajah pucat. Sesampainya disana aku dengan kaki bergetar melihat sosok mama Zayn berlinang air mata yang bahkan aku tak pernah melihat beliau sesedih ini. Sekelilingku penuh dengan bunga duka cita penuh dengan tangisan sanak saudara bahkan teman terdekat Zayn juga menghadiri acara pemakaman nya. Namun aku tak melihat sosok Zayn pulang,meskipun sekedar melihat papa nya untuk yang terakhir kali.

     Semenjak itu Zayn mulai tidak mengabariku nomor nya tidak aktif, email ku juga tidak di balas, semua akun nya juga hening tidak ada balasan. Sesekali aku mampir ke rumah Zayn berharap ada kabar atau berita baik dari Zayn, namun yang terlihat hanya mbak sri pembantu dirumahnya yang sedang mengeluarkan seisi perabotan rumah, dan bahkan mama Zayn tak terihat sedikitpun,

"Ibuk minggu lalu menyusul mas Zayn ke Maroko mbak, sepertinya akan menetap disana dan katanya rumah ini akan di jual," ujar mbak Sri pembantu disana.

"Mbak tau alamat tempat tinggal nya disana?" tanyaku penasaran.

"saya enggak tau alamat jelas nya mbak, tapi yang saya pernah dengar ibuk sering menyebut kan kota El jadida." jawabnya

Pikiran ku mulai tak tenang semua nampak membingung kan, dari kepergian Zayn yang tanpa kabar sekarang mama Zayn yang tiba-tiba pindah ke Maroko.

     Setahun sudah masih tidak ada kejelasan, aku yang masih menunggu Zayn pulang, harapan dia akan melamarku di atas monas mulai surut, seringkali aku melamun entah kemana pikiran ku bahkan mama ku saja tak berani menyapaku, takut aku mengamuk.

Hati ini terkoyah lebih dalam mencekik perlahan hingga ke dasar jantung,aku masih menyalahkan diriku sendiri karena tidak mencegah kepergiannya

Aku memutuskan untuk pergi menyusul Zayn ke El jadida,Maroko dengan keterbatasan biaya dan baju seadanya tanpa berfikir panjang aku segera memesan tiket pesawat untuk keberangkatan besok  tak lupa dengan seijin orangtuaku.

"Kamu yakin nak?'' tanya papaku

"Doain saja ya pa, Zee engga akan lama disana''kataku sambil memeluk nya erat, menahan tangis dan sesak yang teramat.

    Pagipun tiba tepat pukul 8 pagi aku sudah sampai di bandara Jakarta ditemani papa dan mama, aku tidak tau keputusan apa ini, tapi aku lebih tidak mau gila oleh pikiranku sendiri karena terlalu lama menunggu,setidak nya setelah aku sampai disana aku mendapatkan jawabannya.

    Akhirnya pesawatku lepas landas, mencoba mengangkat kaki dan meninggalkan yang ada disini, aku berharap aku bisa membawamu kembali ke Indonesia.Setelah cukup lama akhirnya aku sampai di bandara Internasional di Maroko, aku hanya membawa satu nama alamat, foto terakhir kita dan beberapa barang kesukaan mu.

Aku mencari taxi atau kendaraan lain untuk membawaku menuju El jadida,

"excusme, where are you going?" kata supir taxi yang aku tumpangi.

"El jadida" kataku

Perjalanan ku cukup menguras tenaga bahkan aku sama sekali tidak merasakan keindahan disana, mata dan fikiran ku hanya tertuju pada banyak pertanyaan.Tak terasa aku sangat lapar setelah taxi ku sampai ke kota El jadida aku segera mencari restaurant terdekat untuk makan dan mengisi daya tubuh.

Terlihat satu restaurant yang sangat menarik membuatku ingin makan disana dan segera memesan beberapa makanan khas Maroko.

" i want one tagien,one couscous, and one iced moroccan mint tea"

" ok please wait" 

Akhirnya makanan ku sudah datang dan aku segera melahapnya karena memang aku belum makan dari kemarin, ketika aku memakan makanan ku, tatapanku tertuju pada satu perempuan bercadar hitam di pojok restaurant yang sedari tadi menatapku dengan tatapan misterius. Aku tidak begitu peduli melihatnya dan lanjut menghabiskan makanan ku.

         Setelah makan aku melanjutkan mencari alamat Zayn di penjuru tempat dari ujung keujung menunjukan foto Zayn barangkali ada yang melihatnya atau mengenalinya, ternyata mencari seseorang di negara orang tidak semuda itu bahkan rasa ingin menyerah beberapa kali timbul di otaku. Aku terduduk lemas di sebuah kursi tua di pinggir jalan kota, terdengar suara magrib berkumandang dan ternyata dari aku duduk tidak jauh ada sebuah masjid besar. Banyak sekali orang yang antusias datang ke masjid untuk melaksanakan sholat magrib beda sekali dengan di negaraku, saat aku hendak mengambil air wudlu aku melihat sosok perempuan bercadar hitam itu lagi, seakan mengikuti ku.
''Ini orang ngikutin aku apa gimana sih, jangan-jangan teroris" dalam hatiku menggerutu.
        Setelah sholat selesai aku terduduk di depan masjid sambil melihat alamat itu dalam hati berkata, "Dimana lagi sih aku mencari kamu Zayn?"Tiba-tiba sebuah tangan menepuk bahuku,
"Asalammualaikum" 
''ohh ya wa.. waalaikumsalam" jawabku dengan kaget,
matanya tak asing bagiku, dialah perempuan bercadar hitam itu tepat di depan mataku, aku terpaku melihat matanya yang berwarna kebiruan dengan bulumata yang lentik dan alis yang sedikit tebal, dia sangat cantik meskipun sebagian wajahnya tertutupi.
"i've seen several time like loking for something?" katanya dengan suara sangat lembut dan anggun.
'' ohh ya of course,im looking for someone in El Jadida" kataku
" my name is Lateefa Halimah" sambil mengulurkan tangan nya
'' my name Zena from indonesia" 
           Dialah Lateefa Halimah perempuan bercadar itu, dan sangat baik kelihatan nya sampai tak terasa kita berbincang hingga cukup malam. Dia menawariku tidur di rumahnya yang kebetulan tidak jauh dari masjid tempat kami berbincang, sebenarnya aku ingin menolak karna aku baru mengenalnya dan pastinya ada sedikit rasa takut dan cemas.Namun sepertinya aku terlalu malam untuk mencari penginapan dekat sini dan tubuh ku sangat lelah karena perjalanan ku mencari Zayn.
"you are married?" kataku setelah sampai di rumah Halimah
"yeah of course, but my husband is not coming home tonight because he has work" jawab Halimah dengan senyuman yang terlihat dari kerutan matanya.
"is he a good man?"
"yes, he is a good man, he is handsome and also a pious man"
Aku hanya tersenyum mendengar cerita Halimah saat itu, berharap aku dan Zayn juga bisa mempunyai hidup bahagia seperti mereka, namun aku tak melihat foto pernikahan mereka atau foto suami halimah disetiap ruangan? ah sudah lah mungkin mereka baru pindah rumah jadi tidak sempat menempelkan foto mereka kedinding. Akupun bergegas tidur di kamar tamu dekat ruang ruang tv.
           Pagi itu aku dan Halimah terbangun cukup pagi untuk melaksanakan sholat subuh dan memasak untuk sarapan karena suami Halimah akan pulang pagi ini.
Terdengar ketukan pintu yang cukup keras terdengar hingga kedapur,
''tok...tok.......tok....... asalamualaikum"
Karena Halimah sedang memasak makanan maka aku yang akan membukakan pintu, ketika gagang pintu ku buka dan aku tarik pintu itu, aku terkejut sangat amat terkejut. Aku melihat sosok yang tak asing, mata yang sering aku tatap rambut hitam yang biasa aku usap dan sedikit kumis diatas bibirnya. 
          Kita bertatapan cukup lama rasa senang bercampur banyak pertanyaan, bibir ini seakan ingin mengucap namun terbungkam oleh pertanyaan bodoh itu dan dia yang menatapku seakan ingin menjelaskan sesuatu.
" waalaikumsalam...zayn you're back? this is my friend Zena from Indonesia" Kata Halimah, yang memperkenalkan ku kepada Zayn yang bahkan dia masih aku anggap miliku
'' haii zayn........" sapa ku dengan gelagap dan tatapan tajam
" he is my husband, Zayn" 
Kau tau rasanya? hancur lebur, selama ini aku menunggu jawaban dan kabar memberanikan diri keluar dari negaraku namun yang aku cari sekarang menjadi suami orang. Bagaimana bisa?
        Aku masih sangat kesal, kecewa, terbakar, dan terkoyah. Kini aku dan Zayn  dalam satu meja makan dengan lauk yang sama dengan nasi yang sama di kota sama namun dengan status yang berbeda.
Tak sepatah katapun Zayn memberikan penjelasan, hingga akhirnya dia hanya menuliskan sepucuk kertas putih yang ia selipkan di bawah pintu kamarku berharap Halimah (istrinya) tidak pernah mengetahui tentang aku dan Zayn
"Aku tidak tau harus memulai percakapan ini dari mana, melihatmu berdiri didepan ku saat ini membuatku sangat terpukul seakan waktu tidak memberiku celah untuk bernafas. Kau tau? bukan kamu saja yang kecewa aku pun sangat menyalahkan diriku sendiri selama ini, bahkan setiap hariku adalah penyesalan.Kau tau apa yang sangat menyakitkan? dipaksa menikah dengan seorang gadis yang tidak aku sukai oleh orang yang sudah mendekati ajalnya, bahkan aku tak mampu menjelaskan keadaan saat itu padamu Zee, karena aku tau kau tak akan mau mendengarnya, biar ini menjadi dosaku padamu atas segala janji yang tidak mampu aku tepati, atas segala impian kita yang terpaksa harus kita kubur dalam-dalam. Biar ini menjadi rahasia dan masa lalu kita, aku harap Halimah tidak pernah tau tentang kita ,kembalilah Zee keberadaan kita disini hanya membakar luka ini semakin dalam, kamu harus sembuh dan aku akan tetap disini menutup mata akan kegagalan kisah kita, maafkan aku Zee. Tertulis: Zayn"

        Surat itu pertanda terakhir hubunganku dan Zayn, aku tidak cukup jahat untuk merebutnya dan memaksanya kembali. Keesokan harinya aku berpamitan pulang ke Indonesia pada Halimah dan tentu saja juga pada Zayn, Tidak apa sedikit sakit yang pasti aku telah menemukan jawaban nya entah harus bagaimana aku menjelaskan kepada orang tuaku nanti di rumah.


Terimakasih Zayn.

Senin, 17 Januari 2022

Rintik sendu di atap tendaku



Pendakian ini adalah kali kedua setelah sekian lama menutup pintu rumah dan menutup mata akan bising nya kota dan kata-kata itu.Berharap otak ini mampu lupa akan banyak hal dan semua yang terjadi, dan berharap di atas sana bisa membuang satu nama yang sengaja aku bawa hingga kepuncak, dan menguburnya di atas sana agar tak satupun tersisa sampai dirumah. Konon katanya gunung adalah tempat pelarian terbaik untuk segala gundah dan resah hatimu, aku tak pernah percaya mitos itu namun untuk pertama kalinya aku berharap itu benar-benar nyata.
Kami berangkat berempat setelah lama berunding, dan kami memutuskan akan melakukan pendakian di hari minggu di pertengahan bulan Juli di salah satu gunung terkenal di Jawa Timur. Dito,Vivi,Sakti, dan aku Kumala. Aku bergegas menelfon Dito sebelum keberangkatan,
"Dit..tunggu gue di bc biasa ya, habis ini gue nyusul" kataku
"iya mal, santai aja" ujar dito
Kami memutuskan untuk stay di basecamp pukul 2 sore dan seperti biasa, dalam pendakian tepat waktu adalah fana dan ketidakmungkinan. Setelah aku selesai berberes memasukan satu persatu baju, matras, alat masak dan kebutuhan lainnya, aku bergegas berangkat menuju basecamp karena chat sudah di penuhi oleh omelan anak-anak.
 "woy lama banget lo mal, ketiduran ya? udah mendung nih" pesan tersemat dari vivi.
" iya ini juga udah mau gas kok" jawab pesan ku
Sepanjang jalan diatas motor matic ku yang terdengar hanya kekosongan, tatapan kosong sambil bernyanyi lagu kesukaan aku dan dia, tentang candaan-candaan itu seolah-olah tidak ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi setelah ini. Hangat terik matahari sepanjang jalan semakin membakar setiap isi otak ku mengepulkan setiap pertemuan yang pada akhirnya menjadi abu.
Lampu merah di perempatan kota itu pernah memberhentikan aku bersama dia, dengan tangannya di lututku dan aku yang memegang ice cream coklat kesukaanku hingga melewati perkebunan teh yang sama, yang sekarang aku lewati menuju basecamp.
"eh enak kali ya kalau kita punya rumah disini pasti seger banget deh.." ucapku
"ahh kamu itu dasar... kemaren kita lewat kota kamu pengen punya rumah dikota sekarang lewat kebun teh pengen punya rumah di kebun teh,pindah-pindah mulu kayak laron"
Bahkan suara itu masih jelas di telingaku, masih hafal setiap dialog yang pernah diucapkan bahkan saat ini menjadi alarm yang menguras pendengaran dan ingatanku.
Tak terasa satu jam sudah aku berjalan menelusuri jalan, dan akupun sampai ke basecamp, segera ku hapus muka muramku dan kupasang wajah bahagia. Terlihat muka-muka yang tidak asing dan sedikit mengerut yaitu sahabat-sahabatku yang akan menemaniku selama pendakian.
Setelah itu kita melakukan packing kembali untuk memastikan tidak ada yang kurang atau yang tertinggal, Sakti selaku leader dia yang akan melakukan registrasi di loket dan kami menunggu di basecamp sambil menikmati segelas teh hangat dan sebungkus roti coklat yang aku bawa dari rumah sebagai pengganjal perut selama perjalanan hingga ke pos bayangan.
Tepat pukul 4 sore kami melakukan perjalanan, sebelum itu kami berdoa terlebih dahulu agar selalu dilindungi selama perjalanan hingga kami pulang.
"Guys nanti jangan ada yang jauh-jauhan ya... cewek-cewek yang ngerasa capek atau mual stop dulu aja, kali ini kita jalan santai kok..." ujar Sakti selaku leader.
"oke sakti, jangan ngebut-ngebut loh" jawab vivi 
Sakti adalah teman kami yang banyak pengalaman mendaki wajar saja dia paling dipercaya untuk menjadi leader.
Di sepanjang jalan yang kami temui ya hanya rerumputan, pohon pinus, tebing yang curam, hingga segerombolan monyet. Beda sekali dengan dikota hanya kebisingan, hiruk pikuk, asap kendaraan seakan ingin mencekik ku secara perlahan. Tak terasa kami berjalan sudah satu jam, dengan kaki yang sudah mulai terseret-seret dan punggung yang mulai membengkok rasanya.
"Istirahat dulu guys, kaki gue udah kram nih..." kataku yang sudah tersender di pohon besar dengan muka kusam penuh keringat.
"yauda ayoo... 15 menit aja ya kalau terlalu lama nanti makin cepet capek" jawab Dito yang kelihatan nya juga sangat lelah dengan nafas terengah-engah. Kami pun memutuskan beristirahat sebentar dan mengeluarkan beberapa snack dan minuman untuk mengisi daya tubuh.
Sekian lama tidak melakukan pendakian rasanya masih sama kebersamaan ini tetap ada,lelucon garing mereka menjadi obat lelahku, sayup angin di tepi tebing seakan menyuruh kami untuk beristirahat lebih lama ,dedaunan yang rindang melambai-lambai seakan menjadi atap alami untuk kami beristirahat. Matahari mulai surut ,langit mulai kemerahan suara alam mulai hening dan fikiranku mulai ribut kembali, bergelut membahas antara yang datang dan pergi. Perjalanan ini tidak akan ada habisnya, lelah akan selalu ada ,tanjakan, turunan, bebatuan, bahkan jurang-jurang yang tertutup ilalang itu siap memenjatuhkan kami kapanpun.Tapi tidak tau kenapa gunung selalu membawa kami kembali dalam rasa bahaya itu, selalu menumbuhkan rasa rindu oleh keindahan fatamorgana.
"udah yok, cabut lagi kita harus sampe pos bayangan sebelum magrib, pamali kata orang sini" sontak Dito, yang segera memasukan snack-snack itu ke dalam karil nya.
Sambil menghela nafas panjang sebelum memulai pendakian lagi, hati ini berkata,"biar saja aku akan tetap berjalan sebagaimana mestinya, tempat-tempat kemarin tidak akan bisa menahanmu, makanan yang biasa kita makan, film yang biasa kita tonton, foto-foto itu, anggap saja sebagai jamuan karna pernah tinggal dan sempat kau anggap rumah"
Tidak lama setelah kami beristirahat, ternyata pos bayangan sudah terlihat diujung pandang.Dengan lahan yang cukup luas dan beberapa tenda serta gemercik lampu pertanda ada seseorang yang juga mendirikan tenda disana. Kami bergegas mempercepat laju, sesampainya disana kami segera mendirikan tenda karena gerimis hujan mulai menetes dan membasahi tubuh kami.
Disana ada 4 tenda dan 2 tenda kami, gerimis itu tak kunjung reda seakan menahan kami untuk tetap di sana, setelah kami membersihkan diri dan mengganti pakaian kami pun memutuskan untuk memasak mie instan dan makanan ringan lain nya di dalam tenda.
"eh mal gue tidur dulu deh ya, gue takut ada gledek" kata vivi yang sudah bergegas menarik sleeping backnya, sedangkan Dito dan Sakti di tenda sebelah masih tedengar cekikan-cekikan yang entahlah mereka berbicara apa.
Tetesan air diatap tendaku perlahan semakin menyurut pertanda hujan mulai reda, aku pun mencoba keluar tenda untuk memastikan dan mecoba duduk di depan menikmati aroma hujan dan suara hewan hutan, meskipun terdengar seram namun suara itu tak pernah palsu akan setiap nadanya.
Bintang-bintang itu seolah tersenyum kepadaku menghiburku dengan segala ketenangannya, angin yang berhembus menghebuskan sisa-sisa penyesalan dari sesuatu yang bahkan tidak aku lakukan. Air mata itu masih ada namun aku memaksanya untuk berhenti mengalir dan memaksa mata ini untuk telelap.
Akupun beranjak tidur karna mengingat kami akan melakukan pendakian kepuncak esok pagi dan menyambut sunrise di ujung puncak, berharap ketika aku bangun semua sudah leyap dan alam menepati janjinya. Tepat pukul 3 pagi suara Sakti sangat nyaring diluar tenda bagaikan oknum yang sedang melakukan demo di depan gedung DPR.
"ini pada tidur apa pingsan sih, bangun..bangun kejar sunrise nih......''
"astagaa semangat banget lo kayak mau ngejar gaji" ujar aku yang kaget lalu terbangun dengan nyawa yang masih setengah badan.
"yauda gue siap-siap dulu" ujar vivi
"gue juga deh dari pada gue dipukul pake kompor portable sama sakti" saut Dito sambil menggerutu di dalam tenda.
Dalam perjalanan kami tak lupa memakai headlamp karena kabut sangat tebal saat itu, menyelimuti jalan menutup jarak pandang kami.
Pukul setengah 6 pagi akhirnya kami sampai ke puncak tertinggi, rasa haru, rasa tangis dan lelah terbayar sudah. Seolah alam memberikan kita hadiah dengan lautan awan yang biru dan mengijinkan kami tertidur diatas nya ,aroma pepohonan segar membuat stamina kami kembali penuh. Setelah itu tidak lah lengkap jika pendakian tanpa diabadikan sebagai momen, setelah puas kami berfoto-foto kami kembali beristirahat di bawah pohon rindang dipuncak.
Namun pikiran itu masih saja timbul masih saja membekas, bahkan wajahnya seakan terlukis di langit diantara sela-sela awan putih itu.
Akhirnya kami setelah itu melakukan perjalanan turun kembali ke basecamp dan pulang.
"nanti aku ajak kamu naik gunung ya, biar kamu tau naik gunung itu enak loh..''
''enggak ah takut.......''
"Tenang aja walaupun aku cewek nanti aku yang jagain kamu"
"bener? yauda deh kapan-kapan ya...."
Masih terasa lemas, masih terasa ada yang hilang pada tubuh ini, bahkan waktu tak bisa menjawab kenapa.Berharap bisa membawamu kesini, malah aku kesini dengan rasa resah dan otak yang hampir mati seakan ditertawakan oleh pikiran sendiri yang entahlah sampai kapan, aku kira dia juga resah ternyata aku sendirian.
Ternyata pergi ke gunung bukan untuk melupakan masalah, karna ketika kita kembali ke kota masalah itu akan tetap ada.Kita hanya melarikan diri sejenak dan sembuh sejenak.

Minggu, 16 Januari 2022

Soraya


Pukul empat pagi, terdengar ayam berkokok pertanda matahari mulai terbit. Selimut ini masih sangat hangat untuk di lepas dan kasur yang empuk itu membuat Soraya tidak ingin lekas bangun, gadis kecil berumur 10 tahun dengan rambut ikal dan hitam. Namun tiba-tiba terdengar suara wanita yang begitu keras hingga menembus tembok kamar seakan memaksa gadis itu untuk segera bangun.

"soraya....enak betul kau jam segini masih tertidur yaa !!" 

"iya buuu,ini bangun..........."jawab gadis itu yang sontak langsung bangun dan membereskan kamarnya.

Itulah ibu soraya, wanita parubaya dengan rambut panjang terikat dan daster sepanjang lutut. Gadis itu tinggal bersama dengan ayah dan ibunya dari keluarga sederhana dengan sepetak rumah di pinggir sungai di bawah jembatan kota, setiap pagi buta Soraya selalu pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari dan memasaknya.

Tidak lupa sebelum berangkat ke pasar, gadis itu selalu membawa keranjang belanjanya.

"hey soraya jangan lupa belikan bapak mu ini rokok dan kopi di pasar, mintalah uang pada ibumu itu" ujar bapak soraya sembari duduk teras rumah.

"Tapi soraya hanya diberi uang 25 ribu pak" 

"Mengamen saja kau sana, percuma kau sekolah tidak akan membuatmu kaya"

Soraya hanya terdiam dan tertunduk lesu dengan muka muram, namun ia tetap memberikan senyum manis dan gadis itu pun segera beranjak pergi.

Sering sekali soraya diperlakukan tidak semestinya oleh ayah dan ibunya tidak jarang mereka menyuruh gadis itu untuk berhenti sekolah saja, bapaknya yang seorang penjudi dan pemabuk itu hanya bisa pulang pergi dengan tangan kosong, membuat ibu Soraya yang bekerja sebagai pemulung sampah harus banting tulang siang dan malam demi mencukupi kebutuhan ekonomi.

Tidak itu saja ibunya juga sering menyebut gadis itu sebagai anak sial, karena menurutnya jika saja gadis itu tidak terlahir di dunia mungkin dia sudah bisa kabur dari pria penjudi itu tanpa harus memikirkan tanggung jawabnya menjadi seorang ibu dan terjebak dengan kehidupan sulit ini.

"bu, kemarin kepala sekolah bilang kalau SPP soraya 3 bulan sudah menunggak kalau tidak segera di lunasi, soraya bisa di keluarkan dari sekolah"

"bagus lah, tak usah sekolah pula kau ini, kau itu sama seperti bapak mu itu cuma menjadi beban untuk ku saja"

Dengan perasaan hancur lebur gadis itu tetap berangkat ke sekolah, air matanya berlinang pertanda ada harapan yang terpaksa harus di kubur dalam-dalam. Sesampai nya di sekolah tidak jarang Soraya mendapat ejekan dari teman nya karna bajunya yang kusut bekas jahitan dan sepatunya yang berlubang. Bahkan di sekolah pun Soraya tetap mendapat perlakuan tidak baik dari teman-teman nya. 

Namun gadis itu tetap berharap bahwa suatu saat dia bisa mewujudkan cita-citanya menjadi seorang guru dan membuat ayah ibunya bangga terhadapnya.

Pukul 12 siang bel sekolah pun berbunyi pertanda jam belajar selesai, gadis itu segera memasukan bukunya kedalam tas lalu pulang, dengan nafas terengah-engah dia segera melepas sepatu dan seragam sekolahnya lalu lekas dia cuci, karena dia hanya mempunyai satu seragam, wajar saja ketika pulang sekolah dia segera mencuci seragamnya agar besok bisa terpakai lagi.

"hey anak sial, lekas pergi ke pengepul sampah untuk menimbang sampah kita yang di belakang rumah itu, jangan kau enak-enakan saja"

"iya bu, soraya segera kesana.."

Dengan baju lusuhnya gadis itu pergi dengan membawa dua karung sampah untuk di timbang ke pengepul di perbatasan kota. Dengan berjalan kaki sekitar 2 kilometer gadis itu tetap membawa sampah-sampah itu hingga sampai ke pengepul. Setelah ke pengepul lalu gadis itu beranjak pulang dengan uang hasil mengepul sampah, barulah gadis itu bisa makan dan beristirahat.

"Dari mana saja kau, tak betah kali kau dirumah rupanya ya..."

"Urusi saja anak yang kau sekolahkan itu, buatkan aku makan dan kopi tak usah kau banyak tanya urusanku." ujar bapak Soraya.

"hey pria gila enak saja kau bicara, aku tak mengharapkan apa-apa soal anak itu jadi berhentilah untuk omong kosong dan carilah uang untuk ku."

Soraya yang mendengarkan orang tuanya bertengkar di balik pintu langsung kembali masuk ke kamarnya, pertengkaran itu hampir setiap hari dia dengar dan ia lihat bahkan sudah menjadi makanan sehari-hari Soraya, hanya saja jika dia bisa memilih kepada siapa dia akan di lahirkan, dia hanya meminta orang tua yang sayang kepadanya.

Air mata gadis itu terasa mengering, Soraya hanya merasakan sakit yang tak mampu ia ucapkan lagi, bahkan dia pun tak tau harus mengadu kepada siapa.

Dihari libur pun gadis itu menghabiskan waktu dengan berjualan koran di pertigaan jalan kota, meskipun dari hasil jualan nya hanya mendapat lima ribu perhari, selalu ia kumpulkan untuk membeli buku dan peralatan tulis sekolah.

Meskipun hatinya hancur harinya tak lagi cerah semangat nya tak lagi ada, dia hanya berharap untuk tetap bisa hidup dan bersekolah.

Jika memang Tuhan men-takdirkan ia harus hidup dengan tekanan dari kedua orang tua, ejekan dari teman sekolahnya dan harus kehilangan masa kanak-kanak nya, Soraya selalu berkata pada dirinya sendiri "biar ibu dan bapak tidak menginginkan kehadiran Soraya, Soraya akan tetap hidup dan bersekolah untuk bapak dan ibu" ujar Soraya dalam hati.



When God between us (kata kita)

        (My name is koala)

         Dia adalah Genta mahendra biasanya di panggil Genta yang dalam warga hindu artinya permulaan yang baik .Dia asli Bali dan aku Ayu sholiha dari Jakarta. Aku melanjutkan pendidikan di salah satu universitas di Bali dan memutuskan untuk tinggal disana semenjak keluarga berpisah, karena ayahku asli Bali dan islam. Aku dan Genta bertemu di satu universitas dan menjadi teman sekelas, kami sangat berteman baik selama 5 semester.

          Genta adalah orang yang baik, yang seringkali mengerjakan tugasku hingga segala makalah dan proposal dia yang mengerjakan, dia juga mahasiswa yang pintar hingga mendapat predikat terbaik di kampus. Beda sekali denganku yang pemalas dan bodoh hingga banyak yang menyebut kita sebagai si koala dan dolphin. Meskipun kita berbeda namun kita tetap bisa menjadi sahabat yang solid, bahkan ketika aku lupa mengerjakan tugas, Genta selalu menjadi alarm otomatis di setiap kepikunanku.

          Waktu di taman kampus sembari mengerjakan tugas kita bercanda seperti biasa dengan memakan seplastik telur gulung kesukaanku dan Genta, yang kita beli dari luar untuk cemilan belajar hari ini, tiba-tiba suasana  menjadi sangat serius dan Genta melontarkan pertanyaan, "apakah kita akan bisa terus berteman?" tanpa berfikir panjang tentu aku jawab iya karna aku berfikir itu adalah pertanyaan yang umum dipertanyakan sambil terus memakan telur gulung itu.

          Lalu Genta melontarkan pertanyaan yang menurutku semakin berat untuk di jawab, "apakah di agamamu juga melarang adanya dua keyakinan yang berbeda untuk menjadi satu keyakinan? bagaimana jika aku meninggalkan keyakinan ku?apa aku akan menjadi seorang pendosa?" tanpa sadar sontak aku menjawab, "jika kamu saja bisa merebut dia dari tuhan nya atau kamu meninggalkan Tuhanmu, apakah masih bisa kita di sebut orang baik". Tiba-tiba suasana menjadi sangat hening,telur gulungku tak lagi sedap dan udara tak lagi segar saat itu. Jujur aku pun sendiri tidak tau apa makna dari pertanyaan Genta dan jawaban ku sendiri. Lalu seketika  Genta mencoba mencair kan suasana dengan lelucon nya lalu kita pun kembali pulang dan memutuskan melanjutkan mengerjakan tugas besok.

         Suatu saat aku dan Genta ditugaskan untuk membantu acara OSPEK di kampus, menyiapkan segalah persiapan dan materi. Saat hari H tiba semua maba di kumpulkan di aula untuk perkenalan dan acara lain nya.Acara berjalan sangat lancar, aku dan Genta sangat menikmati acara OSPEK hari itu.

         Waktu jam istirahat perut ku merasa sangat lapar, dan aku memutuskan untuk melaksanakan sholat ashar terlebih dahulu lalu membeli makan di kantin sendiri karena Genta sibuk mengerjakan materi untuk hari esok, memang dia sangat di andalkan ketika ada acara kampus wajar saja dia sangat pintar dan cekatan memang. Saat aku mulai duduk pandangan ku menuju kepada satu anak perempuan yang duduk sendiri dipojok kantin dan ternyata dia adalah maba di kampus ini, tanpa berfikir panjang aku mendekatinya dan mengajak nya untuk makan bersama, dia pun juga sangat senang kelihatan nya. Lalu kita sempat berkenalan, namanya adalah Gantari perempuan asli Bali dan beragama hindu, wajar saja banyak mahasiswa hindu karna universitas ini termasuk universitas yang mayoritas adalah penduduk asli Bali pemeluk agama hindu.

         Setelah itu aku dan Gantari berteman baik meskipun dia adik tingkat, dan aku memutuskan mengenalkan Gantari pada Genta.Genta sangat menerima Gantari dengan baik dan akhirnya kita bertiga berteman sangat erat.

         Ternyata Gantari adalah murid yang cukup pandai waktu SMA nilainya cukup bagus dan banyak prestasi yang ia dapat, aku sangat bangga sebagai sahabat, selalu di kelilingi sahabat-sahabat yang pintar dan baik.

         Suatu saat Genta mengajak ku untuk menemaninya ibadah di pura, mekipun kita berbeda kita selalu menghargai satu sama lain, biasanya saat Genta beribadah aku selalu menunggu di depan pura saampai selesai begitupun juga Genta, ketika aku sholat di masjid dia selalu menunggu di depan masjid sampai aku selesai melaksanakan sholat. Waktu itu aku tidak bisa menemaninya karena harus menemani ayah ke rumah sakit dan menyarankan untuk mengajak Gantari saja lagian mereka juga satu keyakinan.

         Akhirnya Genta berangkat ke pura bersama Gantari, dan semejak itu Genta tidak pernah lagi mengajak aku untuk menemaninya beribadah ke pura, aku tidak masalah akan hal itu mungkin saja memang kita berbeda dan dia butuh teman yang sama untuk beridabah agar lebih khusuk.

        Seringkali aku,Genta, dan Gantari tidak bisa berkumpul bersama seperti biasa karena keadaan ayah yang memang tidak bisa aku tinggal, namun kami masih berkomunikasi dengan baik dan sesekali Genta dan Gantari menjenguk ayah kerumah.Dan sepertinya kedekatan Genta dan Gantari mulai tercium olehku mulai dari mereka yang sering nonton bersama hingga ke perpustakaan bersama yang bahkan itu adalah time favoritku bersama Genta, aku tidak tau rasa ini mulai bercampur aduk rasa khuatir mulai timbul bahkan lebih takut dari pada kehilangan seorang sahabat seperti Genta.

       Pada suatu saat aku memutuskan untuk berkumpul bersama mereka karna rasa rindu akan lelucon mereka dan berharap ini menjadi kali pertama kita melepas rasa rindu dengan kebersamaan kembali. Akhirnya setelah aku menghubungi Genta dan Gantari kami memutuskan berkumpul di tempat makan kesukaanku dan Genta di dekat pantai Pandawa. Kami sangat senang saat itu sambil memesan sate kelinci kesukaan Genta soto kesukaanku dan ayam taliwang kesukaan Gantari.Namun tidak lama Gantari pamit untuk pulang terlebih dahulu karena urusan tertentu. 

     Akhirnya aku dan Genta makan berdua dan kembali berbincang, tak lama itu aku menanyakan suatu hal dengan bahasa santai agar tidak terlalu kaku dan serius, "bagaimana Gantari wanita yang baik bukan?" jujur itu pertanyaan yang aku sendiri sebetulnya tidak mau aku pertanyakan, lalu Genta menjawab dengan santai bahwa Gantari wanita yang pintar dan sepertinya Genta menyukainya nya dan ingin segera mengungkapkan perasaan nya kepada Gantari. Seketika kaki ini terasa sangat lemas dan tangan ini terasa kehilangan fungsinya. Suasana seketika hening, lalu sontak Genta meminta pendapat tempat yang cocok untuk dia mengungkapkan perasaan nya kepada Gantari, lalu dengan gelagap aku menjawab,"ditempat kesukaanmu dimana kamu merasa tenang" dan Genta memilih taman kampus dimana taman itu kesukaanku dan Genta untuk mengerjakan tugas, bercanda sembari memakan telur gulung kesukaan kita.Mata ini mulai berat dan pikiran ini mulai kacau

      Lalu Genta bertanya kembali,"kalau aku dan Gantari adalah sama,apa aku akan tetap menjadi pendosa" aku hanya terdiam dan menggelengkan kepala pertanda jawaban tidak, lalu kami memutuskan untuk pulang.

      Sesampainya di rumah aku mulai mengerti bahwa Genta yang aku kenal adalah dia yang menyukaiku diam-diam namun dia tidak mau menjadikan aku jauh dari tuhan ku, karna tembok kami bukan perkara jarak atau waktu melainkan keyakinan dan kepercayaan seperti kata kita "aku tidak mau merebutmu dari tuhanmu dan menjadikanmu sebagai seorang pendosa". Aku pernah lupa kalau aku dan Genta berbeda, maka biarlah aku terus melupa agar persahabatan kita tetap ada, dan tanpa ada rasa kecewa.

      Kini aku dan Genta telah lulus menempuh pendidikan terakhir dengan predikat yang sangat memuaskan dan Genta telah menemukan pasangan nya yaitu Gantari, yang masih menempuh pendidikan disana.

Genta akan melanjutkan bisnis nya di Bali dan aku akan mencari pekerjaan di Jakarta setelah itu,namun aku dan Genta berjanji akan tetap menjadi sahabat mengubur segala perbedaan dan harapan , berharap kita tidak menjadi asing setelah ini.

   



         

 


 

          

          

       

Bapak yang berpulang

       


 Tepat pukul 03.00 dini hari, jam dinding berputar tidak pada semestinya, awan gelap menyelimuti dan kicauan burung tidak semerdu biasanya.Tangisan berkumandang kesana kemari hiruk pikuk pertanda rasa kehilangan yang teramat dalam. Dialah sosok penting bagi kami orang bilang sang pemimpin. Sekian lama dia menahan rasa sakit menelan obat berpuluh tahun terengah-engah menghela nafas, namun yang beliau tampakan adalah senyuman seakan-akan tidak terjadi apa-apa pada dirinya.

         Rambutnya yang memutih dan kulitnya yang keriput pertanda usia tak lagi muda, namun semangatnya untuk menghibur keluarga sangatlah membara. Kami pernah meminta pada Tuhan, beri kami pilihan jika suatu saat siapa yang akan kau (Tuhan) panggil terlebih dahulu, panggil saja kami (anak-anaknya). Tak apa kami tidak berada di dunia asal nafasnya tetap ada jiwanya tetap sehat.

          Namun tuhan berkata lain, di hari itu kami merasa Tuhan telah mengingkari janji-Nya , tidak ada pertanda apapun bahkan sepatah kata, hembusan nafas terakhirnya mengiringi kepergian sosok sang pemimpin untuk selamanya, berjalan pulang kerumah Tuhan.Memaksa kuat dari jiwa yang hancur memaksa untuk tenang dari suasana yang terombang-ambing.

          Tidak mau berandai-andai, namun jika sosok itu masih ada akan kami beri segalanya meskipun harus menukar jantung dan seisi tubuh, biar saja biar kami puas melihat beliau tersenyum.

Hari berganti hari tidak ada pertanda kesembuhan dari hati yang kehilangan, bahkan semakin membusuk dan memburuk.Perasaan yang gagal dan otak yang setiap malam bergelut dengan kesedihan seakan tidak mau menerima keadaan. Bisakah ini selesai?

           Semangat yang hilang mengikis harapan hidup, hilangnya selera makan juga membuat semua semakin kusut, kami tidak tau sampai kapan ini berlanjut atau adakah hal baik lain dibalik kepergian nya?tapi menurutku tidak ada

Bahkan hingga tahun berganti bayangnya setiap pagi seakan menunggu kami di ruang makan seakan ingin meminta segelas kopi dan sepiring nasi goreng kesukaan nya. Bahkan keadaan itu semakin memburuk ketika ingatan semakin melupa, ketika kami selalu membawakan gorengan setiap pulang kerja berharap beliau memakan nya dengan lahap bersama kami diruang tv bercerita hal lucu lain nya, menonton acara kesukaan, dan meminum secangkir kopi panas sebelum kami terlelap.

             Keadaan itu membunuh pikiran secara perlahan memaksa untuk melupakan hal-hal kecil yang kami lakukan setiap hari, menumbuhkan kekosongan seakan Tuhan tidak memberikan celah kami untuk hidup kembali.

             Keadaan juga memaksa kami untuk ikhlas, yang bahkan kami sendiri tidak tau bagaimana untuk memulai kata itu.

          

(Telah) TERBIT

Ini lah waktu yang kami tunggu-tunggu lamanya, 18 tahun pernikahan yang kosong pada akhirnya tuhan memberi kepercayaan kepada kami. Malaikat...