Kamis, 31 Maret 2022

Misteri 212





         Disebuah desa bernama desa Lowokwaru di kepulauan Jawa. Aku (Renata) dan suamiku (Bram) serta anak pertamaku (Ria) yang masih berusia 10 tahun kehidupan kami sangat harmonis awalnya, hingga aku dikaruniai anak ke 2 yang sekarang masih dalam kandungan. Kami hidup bahagia disana sebelum akhirnya kami menempati rumah peninggalan romo (eyang) dan kejadian-kejadian terkutuk itu pun dimulai...................................

 

Kami tinggal disuatu desa yang masih kental akan mitos dan tradisi kejawen,dan aku pun terlahir dari keluarga yang masih meyakini sesajen atau apapun yang berbau mistis namun sepertinya Bram tidak terlalu mempercayai itu karena di zaman yang maju seperti ini semua hal bisa dijelaskan secara logika tanpa adanya unsur mistis, pikirnya.

Setiap kami terbangun di pagi hari selalu banyak sesajen di setiap rumah warga dengan bau khasnya dan selalu ada taburan bunga di sepanjang jalan desa, konon katanya tradisi itu mampu mengusir roh jahat yang ada pada desa ini, serta mampu menjauhkan setiap kesialan. Setiap malam jumat pun selalu ada acara siraman bagi wanita hamil agar setiap wanita dan bayi yang ia kandung dijauhkan dari segala malapetaka. Aku sering kali mengikuti acara tersebut karena paksaan orang tuaku terutama romo (eyang) seseorang yang cukup terkenal didesa atas ilmu kejawen nya.

‘’nanti kamu jadi ikut acara siraman lagi?’’ tanya Bram

‘’iya mas, mau gimana lagi sudah tradisi’’ jawabku sambil memasak untuk sarapan pagi ini.

‘’jujur aku gak percaya hal bodoh seperti itu, malah buang-buang waktu kita saja’’ ujar Bram dengan raut wajah kesal.

‘’ ya gimana lagi mas, aku juga gak bisa nolak permintaan bapak dan ibuk apalagi mas tau sendiri romo tradisinya kental banget gitu’’ jawabku.

Wajar saja Bram sangat menentang hal seperti itu karena dia terlahir dikota dengan kepribadian dan culture yang sangat berbeda dengan aku dan keluargaku, namun dia selalu mencoba menerima setiap keputusan ataupun tradisi yang kami  jalani itulah yang membuatku sangat mencintainya.

Keesokan harinya tiba-tiba ibuk dan bapak datang kerumah bersama romo, awalnya aku tidak tau apa maksut dan tujuan mereka datang kemari.

‘’ loh ibu sama bapak kenapa gak ngmong dulu kalau mau kerumah, kan Renata bisa siapin makanan’’ ujarku sambil mempersilahkan masuk.

‘’halah seperti siapa saja nduk, ibuk sama bapakmu cuman kangen saja sama kalian berdua’’ jawab ibuk sambil tersenyum

Kami pun lanjut bercengkerama diruang tamu, tiba-tiba di sela obrolan romo memotong pembicaraan kami.

‘’nduk.. le.. (panggilan anak perempuan dan laki-laki dalam bahasa jawa) ini kan rumah yang kalian tinggali sudah sangat kumuh dan tidak layak huni ada baiknya kalian pindah rumah saja atau mengontrak setidaknya, romo takut nanti ketika musim hujan rumah ini bisa roboh’’ kata romo.

Seketika aku dan Bram saling menatap seakan kita mempunyai pikiran yang sama, memang rumah ini sudah sangat rusuh namun kami juga tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli rumah baru.

‘’begini romo, bukan nya Bram dan Renata tidak mau tapi tabungan kami masih belum cukup untuk membeli rumah’’ jawab Bram yang sepertinya dia juga ragu ingin mengucapkan itu

‘’romo punya rumah yang sudah lama tidak ditinggali di ujung desa nomor 212 karena rumah itu cukup besar dan romo juga tidak sanggup membersihkan nya setiap hari, jadi romo biarkan saja kalian bisa menempatinya sesuka kalian rumah itu masih sangat bagus dan banyak peninggalan si mbokmu’’ ujar romo sambil terus membujuk kami.

Selang beberapa waktu aku dan Bram akhirnya setuju untuk menempati rumah itu tanpa berfikir panjang.

Keesokan harinya aku,Bram dan Ria segera membereskan segala barang,

‘’buk kita mau pindah rumah lagi ya?” kata Ria anakaku

‘’ iya nduk, kerumah romo yang lama’’ jawabku sambil memeberi sedikit senyuman.

Jarak rumah itu dan tempat tinggal kami yang sekarang tidak terlalu jauh, mungkin sekitar 15 menit perjalanan. Sesampainya disana kami bertiga saling melihat sekeliling rumah tersebut, benar saja rumah itu terlihat lama tidak dihuni banyak akar pohon merambat di pagar rumah hingga beberapa pohon besar seakan mengelilingi rumah itu. Seketika tatapan ku tertuju pada pohon beringin lengkap dengan ayunan kayu dibawahnya, aku tidak mengerti mengapa aku terus menatap kearah ayunan itu seakan ada yang ingin menarikku kesana.

Kami bertigapun mulai masuk kedalam bangunan itu, tidak seburuk yang kami pikirkan keadaan di dalam nya masih bagus lengkap dengan lukisan tua dan berbagai perabotan lainnya yang masih tertutup rapi dengan kain putih. Seperti biasa romo memang suka mengoleksi barang antik di setiap sudut rumah dan aku tidak berani memindahkan apa yang sudah terpasang.

‘’kita mau mulai bersih-bersih kapan?” tanya Bram

“hari ini juga” jawabku sambil tersenyum.

Awal nya aku mengira semua akan baik-baik saja dengan rumah ini, namun tidak ketika suatu saat kami mendapat kabar bahwa romo mengalami serangan jantung yang mengakibatkan nyawanya terenggut, kami sangat merasa kehilangan waktu itu.

Selang beberapa minggu Bram memutuskan untuk merombak segala isi dari rumah peninggalan romo itu, kami sempat bertengkar hebat waktu itu karena aku tidak setuju jika rumah itu rombak karena pamali kata orang jawa, aku takut sesuatu hal terjadi kepada kami bertiga.

Pagi itu aku terbagun dari tidur ku dan melihat seisi rumah sudah tidak  terletak pada tempat semulanya dan kendi bertutupkan kain merah dibawah lukisan jawa juga ikut berpindah tempat.

‘’mas...mas..!! kok rumah nya jadi gini sih mas, kendi disini dimana dan guci-guci romo semuanya mas pindahin kemana?” teriakku sambil terus mencari-cari.

‘’apasih ren, gucinya mas taruh digudang sama lukisan aneh itu, mas yang pindah tadi malam waktu kamu tidur dan kendi itu mas sengaja buang karena didalam nya ada bangkai tikus jadi aku buang saja..’’ Jawab Bram sambil membawa segelas kopi dari dapur dan tidak merasa bersalah sama sekali.

‘’ha?? Gila kamu ya?’’jawabku dengan marah

Aku yang sontak mendengar hal itu terkejut dan marah, karena romo pernah berpesan padaku sebelum kami pindah kerumah ini untuk tidak memindahkan apapun yang di dalamnya.

Mulai saat itu kejadian misterius mulai menerorku mulai dari ketukan pintu di malam hari, pecahan gelas didapur hingga suara alunan gamelan yang selalu terdengan di ruang bawah tanah.

Kejadian itu semakin menjadi-jadi ketika Ria anak ku sering mengalami kesurupan ketika ia bermain di ayunan dihalaman rumah.

‘’mas  aku merasa ada yang aneh dirumah ini’’ kataku sambil ketakutan

‘’aneh apa sih ren, aku tidak merasakan apa-apa’’ jawa Bram yang selalu menyepelekan keluhan ku

Pada saat itu tiba-tiba aku terbangun jam 1 pagi dini hari, karena merasa haus lalu aku beranjak pergi ke dapur. Pada saat aku mengambil gelas, aku melihat sebuah tangan tanpa tubuh berlumuran darah keluar dari sela-sela meja dapur sontak saja aku berteriak dan berlari menuju kamar ,semakin aku berlari aku mendengar cekikan tawa seorang anak kecil yang semakin lama semakin mendekat di telingaku.

Saat aku menceritakan kejadian itu ataupun segala mimpi buruk yang aku alami Bram selalu saja menganggap bahwa aku berhalusinasi.

Sampai suatu hari pukul 17.00 wib , Bram pulang kerja dan seperti biasa selalu minta dibuatkan segelas kopi panas.

“Ria kemana? Apa dia dikamar aku belum melihatnya dari tadi’’ tanya Bram

Seketika aku juga baru teringat kalau dari tadi siang aku tidak melihat Ria di ruang tamu bahkan dikamarnya,

‘’ aku fikir dia sedang bermain ayunan dihalaman, kamu tidak melihatnya tadi?’ tanyaku.

‘’ tidak, tidak ada siapa-siapa diluar’’

Kami pun bergegas keluar dan mencari Ria di halaman dan segala ruangan dirumah, namun tidak kunjung ketemu, kamipun sangat kuatir saat itu dan mencoba  untuk melporkan kejadian kehilangan kepada polisi. Tidur kami sangat tidak nyenyak memikirkan Ria.

Seperti biasa ketukan pintu itu selalu mengganggu ku di setiap malam, namun aneh nya hanya aku yang bisa mendengar.

Keesokan pagi aku mendengar suara Ria dari arah gudang bawah tanah memanggilku, awalnya suara itu seperti memanggil namun lama kelamaan menjadi suara wanita dewasa dengan kalimat "Kowe Kabeh ngundang kematianmu Dewe" (kalian semualah yang mengundang kematianmu sendiri) suara itu terus berbisik makan lebih keras dan lebih keras lagi.

Akupun berlari menuju Bram, aku merasa kejanggalan ini tidak bisa didiamkan lagi. Aku dan Pram berniat memanggil orang pintar yang ada di desaku untuk membantu kami menemukan Ria.

Aku meminta tolong Mbah Joyo salah satu orang pintar terkenal di desaku setelah Romo untuk membantu kami. Beliau datang membawa segala peralatan yang ia butuhkan untuk mengusir roh jahat dan membawa kembali ria.

"Mbah tolong kami, kami tidak tahu harus berbuat apalagi anak kami tiba-tiba menghilang dan sosok itu seakan ingin membunuh kami secara perlahan" ucapku kepada Mbah Joyo.

Setelah bermeditasi dan berusaha keras akhirnya kami bertiga duduk sebentar untuk berbicara tentang kejanggalan-kejanggalan di rumah kami.

"Apa yang sudah kalian perbuat?" kata Mbah Joyo yang tiba-tiba seakan mengetahui semuanya.

Lalu aku pun mulai menceritakan semuanya mulai dari kepindahan kami ke rumah ini, perombakan seisi rumah yang dilakukan oleh Bram hingga kejadian-kejadian yang aku alami.

Setelah kami berbicara cukup lama Mbah Joyo memutuskan untuk kembali lagi besok dengan membawa beberapa syarat untuk mengusir roh jahat itu.

Malam pun tiba aku kembali mendengar ria berteriak-teriak memanggil ku, suara itu sekarang terdengar di belakang rumah tepat di ayunan yang sering kali dimainkan oleh ria.

Saat aku mendengar suara itu aku melihat Bram sudah tidak ada di samping tempat tidurku, lalu ketika aku mendengar suara ria semakin jelas aku mengintipnya dari balik jendela dan aku melihat Bram sedang menggali sesuatu di dekat ayunan itu.

Aku pun bingung apa yang dilakukan Bram saat itu karena sudah larut malam sekali. Lalu aku menghampiri nya, saat langkahku mulai dekat dan aku berdiri di belakangnya aku pun menepuk pundak kiri Bram

"Mas kamu sedang apa malam-malam gini kok berkebun?"kataku dengan suara lirih

Beberapa kali aku mencoba untuk bertanya kepadanya tapi tidak satupun pertanyaanku dijawab oleh Bram. Sontak saja aku kesal dan memberanikan diri melihat apa yang sebenarnya Bram kubur. 

Dan aku sangat terkejut ternyata yang dia kubur adalah ria anak kami sendiri, dan sangat terlihat saat itu ria sudah tidak bernyawa lantas aku langsung memukul dan berteriak-teriak kepada Bram mengapa ia tega melakukan itu namun tidak ada sahutan sedikitpun bahkan tatapan Bram saat itu kosong tidak ada ekspresi apapun.

"Bram hentikan itu anakmu sendiri ria yang selama ini kita cari kamu tega membunuh nya gila kamu mas....."kataku sambil terus memukul dan menangis tak henti henti.

Seketika Bram jatuh pingsan di hadapanku dan aku terus menggali gali jasad dari ria. Aku yang menangis sejadi-jadinya meratapi kepergian anakku.

Berhari-hari aku seperti orang gila tidak makan ataupun minum aku hanya menangis didalam kamar memandangi segala foto anaku Ria dan anak yang ada di dalam kandunganku yang kian membesar.

Dan semenjak itu pula Bram suamiku jatuh sakit, dia tidak bisa bicara dan tidak bisa berjalan. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi beberapa kali aku mencoba membawa Bram ke rumah sakit namun kata dokter sarafnya baik-baik saja namun dia tidak bisa bicara sama sekali dan bergerak seperti menderita kelumpuhan.

Kekacauan tidak berhenti sampai disitu, setiap malam aku selalu melihat bercak darah di setiap ruang tamu bahkan cap telapak tangan anak kecil di setiap tembok dapur. 

Sore hari itu aku pulang dari pasar tiba-tiba aku melihat suamiku Bram berdiri di pintu dapur, aku sangat terkejut karena yang aku tahu dia sedang sakit jangan pun untuk berdiri untuk bergerak meluruskan kaki saja dia tidak bisa, ini sangat aneh.

Saat aku menatapnya tiba-tiba dia bergerak membalikan badannya ke arahku, matanya hitam bibirnya pucat dengan ekspresi muka yang sangat menyeramkan. Di tangan kanannya memegang pisau yang sudah berlumuran darah dan tangan yang satunya sudah banyak bekas sayatan dari pisau yang dia bawa.

Akupun terkejut lantas aku teriak kepada Bram agar dia sadar, semakin aku berteriak dia semakin mengeluarkan cekikan tawa yang mengerikan. Semakin lama ia mendekatiku aku pun semakin takut, aku takut dia akan membunuhku dengan pisau yang dia bawa dan benar saja dia mulai mengangkat pisau itu ke arahku lalu akupun berlari ke arah keluar meminta tolong kepada semua orang tapi tidak satupun mendengarku.

Aku pun terus berlari ke rumah ibu dan bapak menceritakan kejadian yang terjadi. Awalnya mereka tidak percaya namun setelah aku jelaskan dari awal akhirnya ibu dan bapak mau membantu aku untuk mengusir roh iblis itu.

"Nduk ini semua terjadi karena kalian tidak menuruti apa pesan Romo, rumah itu bukan sembarang rumah. Rumah itu adalah petuah yang dulu pemilik pertama dari rumah itu adalah penganut ilmu hitam yang dibakar massa oleh orang kampung dan arwahnya sempat bergentayangan di desa ini namun Romo mu sudah mengunci roh iblis itu ke dalam kendi yang kalian buang, sekarang roh itu bebas lagi dan mengincar nyawa setiap penghuninya" kata ibu mencoba membenarkan kejadian yang aku alami.

"Lalu Renata harus bagaimana Bu? Renata sudah kehilangan Ria, Renata tidak mau kehilangan mas Bram Bu" kataku sambil terus memohon agar ibu mau membantuku.

"Kalian berdua harus melakukan ritual kedusan dimana ritual itu adalah ritual pengampunan atas kesalahan kalian serta penguncian atas roh iblis itu" ujan ibuku.

Sejujurnya aku tidak pernah tau ritual macam apa itu, namun apapun yang terjadi aku akan tetap melakukan ritual itu agar roh iblis tidak lagi mengganggu keluargaku.

Keesokan harinya aku beserta orang tuaku pergi ke rumah itu. Lalu aku membangunkan Bram dan mengajaknya untuk melakukan ritual kedusan.

Ritual itu berjalan tidaklah mudah berbagai gangguan yang terjadi mulai dari angin yang tiba-tiba berhembus kencang ke arah rumah kami hingga hujan dan sambaran petir dimana-mana dan segerombolan kelelawar yang tiba-tiba masuk ke rumah kami entah dari mana.

Ibuku sendirilah yang memimpin ritual itu aku berharap tidak ada hal buruk yang terjadi.

Waktu ritual itu berjalan tiba-tiba mas Bram kesurupan, bapak mencoba memeganginya dan membacakan beberapa mantra serta mengikat kedua tangannya dengan tali berwarna merah.

Keadaan itu semakin parah ketika tiba-tiba perut ku merasa sangat sakit hingga keluar darah di mana-mana aku merasakan sangat nyeri di perut ku aku takut jika ada sesuatu yang terjadi dengan kandungan ku.

"Tahan ya nduk, kalian harus lewati ritual ini sampai selesai jika tidak semua akan mati disini"kata ibuku sambil sambil terus melakukan ritual itu.

"Perutku sakit sekali Bu, seperti ada yang mencakar cakar perutku dari dalam" kataku sambil terus menangis.

Aku tak kuasa rasa sakit itu semakin lama membuatku ingin mati saja namun aku terus mencoba bertahan hingga ritual ini selesai.

Saat ibu membacakan mantra dan doa-doa seketika ibu mengeluarkan satu kendi yang sama persis dengan kendi Romo yang telah dibuang mas Bram. Setelah kejadian menegangkan itu terjadi jika tiba suasana menjadi hening dan mas Bram sadar kembali .

"Alhamdulillah roh iblis itu berhasil ibu kunci, biarlah kendi ini tetap di rumah ini jangan kalian berani memindahkan atau membuang kendi ini lagi atau kalian yang akan menanggung akibatnya"kata ibuku.

Aku yang sudah sekarat karena pendarahan pada perutku mereka segera melarikan aku ke rumah sakit terdekat. Akhirnya aku melakukan persalinan detik itu juga yang sebenarnya belum waktunya aku melahirkan.

Keesokan harinya setelah aku melakukan persalinan aku melihat bayi kita tumbuh dengan cantik dan aku mulai lega bisa melihat mas Bram, ibu dan bapak tanpa rasa khawatir lagi.

Waktu kepulangan kami dari rumah sakit Aku dan mas Bram memutuskan untuk mengontrak saja dan tidak menempati rumah peninggalan Romo lagi. Biarlah rumah itu kosong dengan ceritanya kami tidak ingin mengambil resiko apapun karena kehilangan anak kami Ria itu sudah menjadi hal terburuk yang kami sesali seumur hidup.



Senin, 14 Maret 2022

Retak Berserakan

 Swara djiwa`

Tunggulah!! Kedai ini sengaja kupesan penuh untuk merayakan pesta kehilanganmu



Aku masih ingat rintikan hujan dibulan april, aroma daun gugur serasa tidak asing di indera penciumanku dan suara bisingnya merayuku untuk tetap tinggal. Tidak ada yang paling aku suka selain gemericik air pertanda kau sudah kembali, percayalah tidak akan ada rahasia setelah ini. Terhapusnya setiap jejak-jejak langkah kaki dipersimpangan menciptakan keraguan atas jalan yang kau lewati.
Kita bertemu kembali pada titik nol dari waktu yang sempat memuai, memang terlanjur usang bahkan sudah sangat berdebu. Kita hanya duduk berdua saja, aku memesan segelas kerinduan dengan senyuman manis sebagai pelengkap, ntah kau memesan apa. Aku memesan semangkuk topik sebagai hidangan pembuka agar pembicaraan kita tak lagi sedingin rintik hujan diluar jendela.
Kita duduk diantara bola mata yang pernah saling menatap, diantara bibir yang pernah saling menyapa ,menertawakan hidup menertawakan fatamorgana. Aku memesan kopi kesukaan mu, tenanglah kopi ini tak akan sepahit kita. Aku menjanjikan kenyamaan  malam ini, tak akan aku memesan rasa sakit yang mungkin sangat menggema ditelingaku. Duduklah, hanya ada aku dan kau malam ini.
Ditempat ini,ditempat pertama kali kita bertemu, ditempat dimana semua mimpi-mimpi kita belum berhasil kita wujudkan kau memilih berpindah hati. Sudahkah kau lapar? bolehkah aku memesankan sesuatu untukmu? Akan ku pesankan sebuah pesan yang sengaja kau letak kan dibawah pintu rumahku bertuliskan namamu dan seseorang, tentu saja bukan aku.
Aduklah, kau boleh menyeduh minuman mu sebanyak yang kau mau. Namun setelah lampu-lampu ini dipadamkan kau akan menjadi satu-satunya keterangan. Kau yang meminum aku yang menelan rasa sakit. Tak apa aku menyukainya.
Sementara itu aku masih terus menatapmu, adakah rasa bersalah atau sedikit patahan? atau memang sengaja tidak kau tumbuhkan. Rasa yang hanya tinggal serpihan tulang mulai terasa nyeri dibagian dada kananku.
Lihat.....langit semakin gelap, memadamkan bekas jejak-jejak kaki menyekap setiap peluhnya.
Santailah sejenak, malam ini masih sangat panjang. Disini ditempat yang sengaja aku hindari, aku pernah berdiri menyapa kerinduan, membalut kehilangan, menggores setiap kata yang pernah kau ucapkan.
Disetiap ukiran kursi yang kau duduki, aku mengisahkan keikhlasan dikepasrahan. Diangka-angka meja itu masih terpapar nyata bagaimana kita berbincang ria  pada keharmonisan. Retak berserakan, kusut kusam, tercabik rasa sepi, hilang diantara pekat aroma kopi.
Dipeluk ini, dipeluk yang pernah kau lewati kau menyapa sebagai satu-satunya kerinduan. Pada dinginnya malam aku masih sendiri. Mendengarkan alunan pesta pernikahanmu, lengkap dengan gaun putih dan bunga di setiap sudutnya. Pada letupan ruang kekosongan kau kembali duduk sebagai satu-satunya kenangan. Aku sengaja membicarakan senyumu dikeindahan yang telah hilang, mengulang kembali setiap bait yang sempat kita rakit. Terinjak lara, terkoyah sepi, tercampur rasa pahit yang di seduh dengan rasa sakit.
Satu kisah yang kita upayakan, lenyap. Kau memutuskan pergi meninggalkan beribu rencana, merobek dengan keras, menyayat dengan pisau yang kau pinjam dari tangan seseorang yang kau anggap sebagai rumah. Pada setiap kata yang kau utarakan aku tak lagi percaya.
Aku mencarimu, sedangkan kau berpesta pora diatas gemerlap lampu. Itu yang kau sebut hidangan hanya sebagai pelengkap atas rasa ucap yang kau selimuti rasa pengkhianatan.
Dan kini satu-satunya yang tersisa hanya lukisan dari rasa hiruk pikuk yang kubuat sendiri. Aku memaafkanmu, dari segala bencana yang kau buat.
Ditempat ini kapanpun resah merasuk jiwamu, duduklah kau boleh pesan apapun yang kau mau, dengan kenangan manis sebagai pelengkap. Pesanlah sebelum kursi-kursi ini berhasil disingkiran, karena setelah kursi-kursi ini berhasil disingkirkan kau tak akan menemukan ku disetiap ukiran kerinduan.
Kubur sebagai luka paling dalam, hentikan segala keraguan kopi itu akan tetap hangat sekalipun dengan atau tanpa kau seduh.







Sabtu, 12 Maret 2022

Rangka lusuh

Swara djiwa`

Pesan itu tidak sampai! Barangkali kau lupa atau memang sengaja tidak kau kirim?



Aku ingat waktu pertama kali melihatmu. Kau datang tanpa permisi dengan senyum manis tepat bersamaan dengan senja datang.
Sejak detik itu pikiranku mulai penuh, sengaja berlarian di fikiranku siang hingga malam. Aku kira ini hal yang wajar sebab hati memang suka bermain-main pada setiap tokoh nya.
Aku tidak pernah menduga secarik kertas putih sampai kerumah, dengan warna biru manis pertanda hal yang baik. Konon katanya jika secarik kertas datang tiba-tiba tanpa kau sangka, akan ada kode bahagia di setiap kata yang kau terima. 
Yahh benar saja, sapaan demi sapaan tertulis dengan rapi. Aku tidak ingin berdrama dengan keadaan namun aku sangat tergila-gila dengan setiap pesan yang kau kirim, aku tidak tau tapi aku enggan bisa mengeluarkan mu dari isi kepalaku.
Entah lah perihal apa ini, bukan apa yang ada pada dirimu namun jika kau percaya, dengan mu aku merasa baik-baik saja (semoga kau juga).
Kau selalu mampu membuatku berkata jujur di setiap topik yang sengaja kita ketik, namun aku terlalu pelupa untuk ekspektasi yang sering kita baca.
Bukan nya sulit, tapi menduga-duga kau milik siapa adalah hal terlemahku, bukan nya tidak baik bergelut dengan ekspektasi? memaksa waktu berjalan sesuai keinginan mu.
Kita terlalu menikmati suasana di zona nyaman, berkecimpung hangat pada ruang tunggu, dan terlalu akrab dilubang pertemanan. Bagaimana bisa kita tetap tinggal pada rumah tanpa tiang, bukankah sewaktu-waktu bisa roboh dan hancur?
Otakku berpikir keras, mencoba meraba-raba jalan keluar menyisihkan waktu untuk menebak-nebak kata, kemana harus pergi. Membawa diri agar tidak terbuai terlalu dalam. Ketika langkahku mulai menemukan jalannya, sementara tanganmu seakan mencegahku ke mana-mana.
Tunggu, setelah pesan-pesan itu terkirim banyak ribuan kata yang harus kita jelaskan.
Lihatlah, itu hanya pesan. Rangkaian kata yang sengaja kau sematkan menjadi memori, tidak ada arti, guyonan kita semalam hanya sebagai pengantar tidur mu, kau terlelap dengan mimpimu sedangkan aku terbelenggu dengan cerita fiksi yang tidak sengaja kita rangkai. Kalimat demi kalimat memaksa kita untuk tetap tinggal.
Sesekali ikutlah denganku, ke dunia di mana kau akan percaya tanpa aku harus repot-repot menuliskan berbait bait puisi agar kau mengerti.
Di dunia khayalan mungkin kau akan menerimaku tanpa rasa sungkan. Tak apa kan jika sesekali aku sedikit memaksa?
Walau begitu, Aku tetaplah aku dan kamu ya kamu.
Jangan khawatir aku akan tetap menjadi temanmu, yang setia mendengarkan keluh kesah mu, mengusap setiap air matamu, menjadi mentari saat harimu mulai kelabu. 
Aku harap tidak ada air mata di pelupuk matamu, Aku harap bibirmu tak pernah mengering atas kata yang tak pernah terkirim ah.... Mungkin saja hanya aku.
Tak apa aku masih baik-baik saja sementara ini, masih mampu membalas semua pesan mu yang semakin singkat. Untuk badut sepertiku itu adalah hal biasa.
Kepalsuan hadir di antara aku dan kamu, mana berani Aku menginginkan cerita yang lebih daripada ini? Sosok sempurna sepertimu tidak pantas untuk seorang pemalas sepertiku. Bagaimana tidak? Aku sangat malas saat ingin menghapus pesan singkat di setiap kolom chat kita, malas berdebat dengan mu, dan malas untuk melupakanmu. Kurang ajar kah aku jika sewaktu-waktu memberikan bahuku untuk tempat menyandarkan kepala mu? Tanganku masih kosong jika kau butuh untuk menggenggam saat dunia mulai menenggelamkanmu. Tapi jika kau enggan aku pun juga tidak memaksa.
Bak orang dungu, seperti kebodohan yang sengaja aku tumbuhkan. Kata rindu yang tersirat membuat aku semakin berdarah-darah, namun tetap saja aku berharap kau akan membalasnya.
Aku tidak pernah tau di mana sebenarnya perasaanmu bermukim. Adakah rumah yang sudah kau tinggali ataukah masih menjelajahi tempat untuk kau singgahi. Mungkin sangat susah untuk kau cerna tapi bisakah kau buka sedikit bola matamu untuk melihat ku, bukankah aku cukup besar untuk terlihat olehmu?
Menyayangimu adalah suatu hal yang semu hal yang tidak bisa aku gapai dengan tangan kosong, perihal kau bahagia adalah keharusan entah denganku atau tidak, Aku harap tidak akan menjadi masalah bagiku. 
Aku harap kau selalu baik-baik saja, jangan risau atas diamku, aku hanya sedang bertengkar dengan isi kepala ku sendiri. Jangan terkejut aku sudah biasa berpura-pura tersenyum. Tugasku hanya menghiburmu dan menemanimu entah dengan siapa kau berlabuh. Hanya saja Aku sedikit kecewa karena bukan aku yang membuatmu benar-benar bahagia.
Kau yang aku kira tercipta sebaik-baiknya Tuhan menciptakan, pantas mendapatkan yang terbaik namun jika tidak, izinkan aku berusaha lebih keras lagi.
Bagaimana bisa orang membuatmu terluka, sedangkan aku mengacuhkan pesanmu saja aku tidak mampu. Selusuh itu memang aku.
Kita sama, terlalu pintar menyembunyikan perasaan atau terlalu bodoh untuk menyatakan. Entahlah kurasa begitu.
Saat pesanmu tak lagi hadir di kolom chat-ku aku mulai yakin mungkin tugasku telah usai. Tapi rasa khawatir ku mulai menggebu-gebu terkoyak pecah di bagian otak kiriku. Harusnya aku sudah menduga sejak lama bukan malah berdiam diri memandang layar handphone menunggu notifikasi mu.
Ah sudahlah.... Bukankah aku sudah memupuk rasa luka sedari awal lalu mengapa aku harus basah di bagian terakhir.
Sesekali aku harus belajar menjadi manusia biasa, wajar saja bila terluka wajar saja bila tidak baik-baik saja. Bahkan manusia terhebat di dunia pun pernah merengek-rengek kesakitan.
Sembuh itu butuh waktu tidak ada yang tahu dan tidak juga direncanakan. Sesekali rasa luka itu perlu dinikmati untuk menjadikan kita lebih bijak lebih berpikir dan membiarkan diri untuk memilih. Boleh saja untuk beristirahat boleh saja untuk menyerah, tidak ada sesuatu yang patah dan tidak tumbuh. Kau hanya perlu memulai kembali.
Menghapus segala pesan yang tersemat, mencari rumah ternyaman, atau mengangkat tangan untuk sekedar berdoa agar diberi keajaiban, kuharap aku bisa memilih semuanya.
Ayolah hentikan isakan tangis mu bukankah itu terlalu berisik dan mengganggu?
Dia bukan pilihan ganda pada kertas ujian mu, kau tak perlu pusing untuk memikirkannya bahkan jika kau tidak memilih salah satu diantaranya, tak apa Tuhan tak akan memarahimu.
Untuk sembuh memang tidak bisa terburu-buru, Tapi juga jangan berlama-lama mengenang seseorang yang memang tidak ditakdirkan untukmu.







"Tidak harus sembuh sekarang tapi harus bisa"
















Selasa, 01 Maret 2022

Diagnosa

Mengapa aku berbeda?

"stop thinking that I'm crazy,aku tidak gilaaa...."


Bisikan-bisikan itu seakan mengajakku menuju ketempat yang gelap melakukan berbagai hal yang mestinya tidak dilakukan oleh orang normal pada umumnya.Tidak ada yang bisa membantuku keluar dari ruangan gelap itu,semua orang menjahuiku mereka menyebutku monster.

"dio...dio... bangun nak'' 

Seketika terdengar suara wanita memanggilku suaranya sangat dekat hingga membuatku terbangun dari mimpi buruk itu, ialah mama orang satu-satunya yang masih mempercayaiku bahwa aku masih normal.

"hari ini kita ada jadwal bersama dokter Andre ditempat biasa, bangun dan segera ambil sarapanmu kita akan berangkat lebih pagi sayang....''

''ke psikiater lagi mah?bulan lalu kan kita sudah kesana''

''iya dio....dokter Andre ingin bertemu denganmu dia sangat merindukan cerita-cerita luar biasa kamu''

Kata-kata itu selalu terucapkan, ia berusaha membuatku tenang agar tidak selalu kabur saat kami menuju ke psikiater.Aku memang sering melakukan terapi ataupun sekedar berbincang-bincang ke psikiater menceritakan segala keluh kesahku, ntahlah sebenarnya apa yang terjadi padaku tapi aku merasa baik baik saja. Hanya saja kadang kala emosiku tidak bisa terkendalikan.

Saat itu tepat hari minggu pukul 07.00 pagi, aku dan mama bergegas pergi ke kediaman dokter Andre.Cuaca sangat cerah hari itu, kata mama jika aku mau diajak ke psikiater dan tidak kabur lagi mama berjanji akan membelikan apapun yang aku mau.Mama sangat menyayangiku.

Sesampainya disana kami bertemu dengan dokter Andre psikiater terbaik dikotaku,meskipun aku sedikit takut dengan nya.Kami diantar kesebuah taman dibelakang rumah, tempat biasa aku dan dokter Andre memulai sesi tanya jawab seputar keseharianku. Dan mama menunggu diruang tamu agar aku lebih fokus menjalani terapi.

''Hai dio,sepertinya hari ini kamu sangat bersemangat sekali ya...'' sapa dokter Andre.

''iya dok, cuaca hari ini sangat cerah aku menyukai nya..''

''lama sekali ya kita tidak bertemu, pasti banyak hal menarik yang akan kamu bagi dengaku hari ini..''

Aku hanya tersenyum, kami berbicara layaknya sahabat bukan seperti dokter dengan pasien. Setiap kali terapi aku selalu berusaha melawan moodku yang sering kali berubah. Dokter Andre juga selalu menyediakan kue kesukaanku dan coklat hangat katanya agar aku merasa tenang saat berbicara dengan nya.

"Bagaimana dengan sekolah barumu Dio? aku dengar sekolahmu sangat bagus dengan kolam renang yang luas dan lapangan yang hijau.."

"Iya dok, aku sangat menikmati sekolah baruku, aku bisa bermain bola sepuasnya"

"Bagaimana dengan teman kelasmu, apa ada salah satu yang membuat kamu jatuh hati Dio?..."

Aku pun sedikit tertawa dengan pertanyaan yang dilontarkan dokter Andre.

"Coba ceritakan padaku Dio..."

Aku memberanikan diri untuk menceritakan segala kejadian waktu itu kepada dokter Andre, mencoba mengingat kembali hal-hal menyeramkan di tempat itu, meskipun aku sangat takut sesuatu terjadi tak terkendali.

hai namaku Dio syahputra remaja berusia 17 tahun, yang sejak kecil memiliki tingkat emosi yang tidak stabil dimana suasana hati bisa berubah drastis dalam waktu yang cukup lama. Dokter mendiagnosis aku sebagai penderita bipolar, saat aku dalam keadaan senang atau yang biasa disebut fase mania, aku sangat bersemangat enerjik bahkan aku berbicara sangat cepat tidak seperti orang pada umumnya.Namun jika aku berada pada fase depresi aku bisa sangat lesu tidak bersemangat menjalani aktivitas bahkan tak jarang aku sampai mencoba melakukan aksi bunuh diri karena merasa sangat tidak berguna.

Aku sudah pindah sekolah sebanyak 3x dalam beberapa tahun ini, karena teman sekelasku merasa  terganggu denganku dan guruku kerap menegurku karena aku sering tidak masuk kelas karena moodku yang kambuh.Rasa malas yang berlebih, rasa lesu bahkan kerja otak yang kadang melambat,dan aku mudah sekali tersinggung dengan perkataan-perkataan yang sebetulnya bukan masalah yang besar sangat membuatku payah, tapi kadang kala aku merasa ingin terlihat lebih unggul dari pada teman kelasku yang lain dengan tingkat ambisi yang tinggi bahkan melampaui batas wajar .

Keadaan emosi yang bisa beruba-ubah itu sangat membuatku terganggu namun aku sendiri pun tidak bisa mengendalikan itu semua, semua terjadi begitu saja tanpa aku mau.Tak jarang aku dibully dikucilkan bahkan diperlakukan tidak sama seperti siswa lainnya.

"dio apa kamu baik-baik saja" tanya beberapa teman sekelasku.

''aku baik-baik saja''

''tapi kamu terlihat cemas dari kamu berangkat sekolah hingga sekarang''

Hal itu membuat aku sangat merasa aneh, kecemasan itu datang tanpa sebab tapi aku merasa sesuatu sedang terjadi dan itu menakutkan.

''bisakah kamu bersikap normal dio, kami takut!....''

''bisakah kamu berbicara tidak terlalu cepat, kami tidak mengerti perkataanmu....''

''bisakah kamu tidak melakukan hal-hal aneh dio?''

''apakah kamu sudah gila dio??''

''sepertinya kamu harus meminum obat-obatmu itu sebelum berangkat sekolah!!''

Semua perkataan itu membuat aku takut untuk pergi ke sekolah, aku meminta mama untuk tidak lagi menyekolahkan ku, aku tidak mau menyakiti teman-temanku dan aku juga tidak sanggup mendengar celotehan-celotehan itu lagi.

Aku lelah meminum obat-obat penenang itu, aku lelah harus setiap bulan melakukan terapi kejiwaan dan diintrogasi seperti seorang penjahat, menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan bodoh itu.Aku marah ketika mendengar tetanggaku menganggap bahwa aku gila, berbicara seolah ini adalah penyakit kutukan, aku marah saat aku melihat mama menangis merawatku penuh ketulusan diantara gosip-gosip sampah dari orang-orang itu.

Aku pernah beberapa kali mencoba bunuh diri mulai dari menyayat tangan dengan pisau,  meminum obat-obatan itu dengan jumlah yang banyak hingga menarik tali di pergelangan leherku.Aku tidak tau mengapa, tapi ketika penyakit itu kambuh aku merasa sangat payah dan tidak berguna.

Tapi mama selalu menggagalkan aksi gila itu,mungkin jika tidak ada mama aku akan benar-benar kehilangan nafasku dan segala tentang hidup.Kata dokter penyakit ini seumur hidup, tidak akan bisa sembuh seratus persen dan aku harus merasakan bullyan gila itu sepanjang waktu.

Saat ini aku memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan apapun,aku akan fokus terapi ke psikiater dan meminum obat-obatan itu seumur hidupku. Aku tidak ingin merepotkan siapapun lagi tidak ingin membuat orang merasa ketakutan atas kehadiranku.

"Dio...kamu adalah anak spesial yang diberi kekuatan dari tuhan untuk menjalani fase ini, jangan takut mama kamu dan orang terdekat lain nya adalah orang terbaik yang akan menemani di situasi terburukmu.'' Kata dokter Andre padaku.

''apakah dokter juga akan menemani saya?''

''Tentu dio...''

Mungkin benar kata orang, apa yang ditakdirkan tuhan tidak ada yang kebetulan semua sudah terencana dengan baik,ntah aku atau orang lain yang mungkin mempunyai penyakit yang sama mungkin tak akan merasakan hidup bebas seperti orang-orang normal pada umumnya, namun kita akan dipertemukan dengan seseorang yang benar-benar menjadi malaikat pelindung yang siap mengabdikan hidupnya untuk menemani kita.



 ''then whatever we get is a gift, because it's not about why and until when but about who and how''

(Telah) TERBIT

Ini lah waktu yang kami tunggu-tunggu lamanya, 18 tahun pernikahan yang kosong pada akhirnya tuhan memberi kepercayaan kepada kami. Malaikat...