Minggu, 16 Januari 2022

Bapak yang berpulang

       


 Tepat pukul 03.00 dini hari, jam dinding berputar tidak pada semestinya, awan gelap menyelimuti dan kicauan burung tidak semerdu biasanya.Tangisan berkumandang kesana kemari hiruk pikuk pertanda rasa kehilangan yang teramat dalam. Dialah sosok penting bagi kami orang bilang sang pemimpin. Sekian lama dia menahan rasa sakit menelan obat berpuluh tahun terengah-engah menghela nafas, namun yang beliau tampakan adalah senyuman seakan-akan tidak terjadi apa-apa pada dirinya.

         Rambutnya yang memutih dan kulitnya yang keriput pertanda usia tak lagi muda, namun semangatnya untuk menghibur keluarga sangatlah membara. Kami pernah meminta pada Tuhan, beri kami pilihan jika suatu saat siapa yang akan kau (Tuhan) panggil terlebih dahulu, panggil saja kami (anak-anaknya). Tak apa kami tidak berada di dunia asal nafasnya tetap ada jiwanya tetap sehat.

          Namun tuhan berkata lain, di hari itu kami merasa Tuhan telah mengingkari janji-Nya , tidak ada pertanda apapun bahkan sepatah kata, hembusan nafas terakhirnya mengiringi kepergian sosok sang pemimpin untuk selamanya, berjalan pulang kerumah Tuhan.Memaksa kuat dari jiwa yang hancur memaksa untuk tenang dari suasana yang terombang-ambing.

          Tidak mau berandai-andai, namun jika sosok itu masih ada akan kami beri segalanya meskipun harus menukar jantung dan seisi tubuh, biar saja biar kami puas melihat beliau tersenyum.

Hari berganti hari tidak ada pertanda kesembuhan dari hati yang kehilangan, bahkan semakin membusuk dan memburuk.Perasaan yang gagal dan otak yang setiap malam bergelut dengan kesedihan seakan tidak mau menerima keadaan. Bisakah ini selesai?

           Semangat yang hilang mengikis harapan hidup, hilangnya selera makan juga membuat semua semakin kusut, kami tidak tau sampai kapan ini berlanjut atau adakah hal baik lain dibalik kepergian nya?tapi menurutku tidak ada

Bahkan hingga tahun berganti bayangnya setiap pagi seakan menunggu kami di ruang makan seakan ingin meminta segelas kopi dan sepiring nasi goreng kesukaan nya. Bahkan keadaan itu semakin memburuk ketika ingatan semakin melupa, ketika kami selalu membawakan gorengan setiap pulang kerja berharap beliau memakan nya dengan lahap bersama kami diruang tv bercerita hal lucu lain nya, menonton acara kesukaan, dan meminum secangkir kopi panas sebelum kami terlelap.

             Keadaan itu membunuh pikiran secara perlahan memaksa untuk melupakan hal-hal kecil yang kami lakukan setiap hari, menumbuhkan kekosongan seakan Tuhan tidak memberikan celah kami untuk hidup kembali.

             Keadaan juga memaksa kami untuk ikhlas, yang bahkan kami sendiri tidak tau bagaimana untuk memulai kata itu.

          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(Telah) TERBIT

Ini lah waktu yang kami tunggu-tunggu lamanya, 18 tahun pernikahan yang kosong pada akhirnya tuhan memberi kepercayaan kepada kami. Malaikat...