Minggu, 16 Januari 2022

Soraya


Pukul empat pagi, terdengar ayam berkokok pertanda matahari mulai terbit. Selimut ini masih sangat hangat untuk di lepas dan kasur yang empuk itu membuat Soraya tidak ingin lekas bangun, gadis kecil berumur 10 tahun dengan rambut ikal dan hitam. Namun tiba-tiba terdengar suara wanita yang begitu keras hingga menembus tembok kamar seakan memaksa gadis itu untuk segera bangun.

"soraya....enak betul kau jam segini masih tertidur yaa !!" 

"iya buuu,ini bangun..........."jawab gadis itu yang sontak langsung bangun dan membereskan kamarnya.

Itulah ibu soraya, wanita parubaya dengan rambut panjang terikat dan daster sepanjang lutut. Gadis itu tinggal bersama dengan ayah dan ibunya dari keluarga sederhana dengan sepetak rumah di pinggir sungai di bawah jembatan kota, setiap pagi buta Soraya selalu pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari dan memasaknya.

Tidak lupa sebelum berangkat ke pasar, gadis itu selalu membawa keranjang belanjanya.

"hey soraya jangan lupa belikan bapak mu ini rokok dan kopi di pasar, mintalah uang pada ibumu itu" ujar bapak soraya sembari duduk teras rumah.

"Tapi soraya hanya diberi uang 25 ribu pak" 

"Mengamen saja kau sana, percuma kau sekolah tidak akan membuatmu kaya"

Soraya hanya terdiam dan tertunduk lesu dengan muka muram, namun ia tetap memberikan senyum manis dan gadis itu pun segera beranjak pergi.

Sering sekali soraya diperlakukan tidak semestinya oleh ayah dan ibunya tidak jarang mereka menyuruh gadis itu untuk berhenti sekolah saja, bapaknya yang seorang penjudi dan pemabuk itu hanya bisa pulang pergi dengan tangan kosong, membuat ibu Soraya yang bekerja sebagai pemulung sampah harus banting tulang siang dan malam demi mencukupi kebutuhan ekonomi.

Tidak itu saja ibunya juga sering menyebut gadis itu sebagai anak sial, karena menurutnya jika saja gadis itu tidak terlahir di dunia mungkin dia sudah bisa kabur dari pria penjudi itu tanpa harus memikirkan tanggung jawabnya menjadi seorang ibu dan terjebak dengan kehidupan sulit ini.

"bu, kemarin kepala sekolah bilang kalau SPP soraya 3 bulan sudah menunggak kalau tidak segera di lunasi, soraya bisa di keluarkan dari sekolah"

"bagus lah, tak usah sekolah pula kau ini, kau itu sama seperti bapak mu itu cuma menjadi beban untuk ku saja"

Dengan perasaan hancur lebur gadis itu tetap berangkat ke sekolah, air matanya berlinang pertanda ada harapan yang terpaksa harus di kubur dalam-dalam. Sesampai nya di sekolah tidak jarang Soraya mendapat ejekan dari teman nya karna bajunya yang kusut bekas jahitan dan sepatunya yang berlubang. Bahkan di sekolah pun Soraya tetap mendapat perlakuan tidak baik dari teman-teman nya. 

Namun gadis itu tetap berharap bahwa suatu saat dia bisa mewujudkan cita-citanya menjadi seorang guru dan membuat ayah ibunya bangga terhadapnya.

Pukul 12 siang bel sekolah pun berbunyi pertanda jam belajar selesai, gadis itu segera memasukan bukunya kedalam tas lalu pulang, dengan nafas terengah-engah dia segera melepas sepatu dan seragam sekolahnya lalu lekas dia cuci, karena dia hanya mempunyai satu seragam, wajar saja ketika pulang sekolah dia segera mencuci seragamnya agar besok bisa terpakai lagi.

"hey anak sial, lekas pergi ke pengepul sampah untuk menimbang sampah kita yang di belakang rumah itu, jangan kau enak-enakan saja"

"iya bu, soraya segera kesana.."

Dengan baju lusuhnya gadis itu pergi dengan membawa dua karung sampah untuk di timbang ke pengepul di perbatasan kota. Dengan berjalan kaki sekitar 2 kilometer gadis itu tetap membawa sampah-sampah itu hingga sampai ke pengepul. Setelah ke pengepul lalu gadis itu beranjak pulang dengan uang hasil mengepul sampah, barulah gadis itu bisa makan dan beristirahat.

"Dari mana saja kau, tak betah kali kau dirumah rupanya ya..."

"Urusi saja anak yang kau sekolahkan itu, buatkan aku makan dan kopi tak usah kau banyak tanya urusanku." ujar bapak Soraya.

"hey pria gila enak saja kau bicara, aku tak mengharapkan apa-apa soal anak itu jadi berhentilah untuk omong kosong dan carilah uang untuk ku."

Soraya yang mendengarkan orang tuanya bertengkar di balik pintu langsung kembali masuk ke kamarnya, pertengkaran itu hampir setiap hari dia dengar dan ia lihat bahkan sudah menjadi makanan sehari-hari Soraya, hanya saja jika dia bisa memilih kepada siapa dia akan di lahirkan, dia hanya meminta orang tua yang sayang kepadanya.

Air mata gadis itu terasa mengering, Soraya hanya merasakan sakit yang tak mampu ia ucapkan lagi, bahkan dia pun tak tau harus mengadu kepada siapa.

Dihari libur pun gadis itu menghabiskan waktu dengan berjualan koran di pertigaan jalan kota, meskipun dari hasil jualan nya hanya mendapat lima ribu perhari, selalu ia kumpulkan untuk membeli buku dan peralatan tulis sekolah.

Meskipun hatinya hancur harinya tak lagi cerah semangat nya tak lagi ada, dia hanya berharap untuk tetap bisa hidup dan bersekolah.

Jika memang Tuhan men-takdirkan ia harus hidup dengan tekanan dari kedua orang tua, ejekan dari teman sekolahnya dan harus kehilangan masa kanak-kanak nya, Soraya selalu berkata pada dirinya sendiri "biar ibu dan bapak tidak menginginkan kehadiran Soraya, Soraya akan tetap hidup dan bersekolah untuk bapak dan ibu" ujar Soraya dalam hati.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(Telah) TERBIT

Ini lah waktu yang kami tunggu-tunggu lamanya, 18 tahun pernikahan yang kosong pada akhirnya tuhan memberi kepercayaan kepada kami. Malaikat...