Jumat, 18 April 2025

Petaka nomor 99


Di sebuah kota kecil, ada sebuah legenda tentang nomor telepon 99 yang misterius. Banyak orang yang mengatakan bahwa jika kamu menerima panggilan dari nomor 99, maka kamu akan mengalami petaka yang tidak terhindarkan.


Suatu hari, seorang pemuda bernama Riko menerima panggilan dari nomor 99. Awalnya, Riko tidak mempercayai legenda itu dan menjawab panggilan tersebut. Sebelumnya, Riko pernah berkata kepada temannya, "Itu hanya nomor karangan dari anak kampung yang kurang kerjaan, aku tidak akan mempan oleh tipuan sampah seperti itu." Ia merasa bahwa legenda itu hanya omong kosong belaka.


Namun, ketika ia mendengar suara di seberang sana, ia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Suara di seberang sana tidak mengatakan apa-apa, hanya diam dan tidak bernapas. Riko mencoba untuk berbicara, tetapi tidak ada respons. Setelah beberapa menit, panggilan itu terputus.


Ketika Riko berjalan pulang, ia merasa bahwa ada seseorang yang mengikutinya. Ia melihat ke belakang, tetapi tidak ada siapa-siapa. Tiba-tiba, lampu jalan mulai berkedip-kedip, dan Riko merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres.


Keesokan harinya, Riko menerima panggilan lagi dari nomor yang sama. Panggilan itu berlangsung lebih lama dari sebelumnya, dan Riko mulai merasa takut. Ia mencoba untuk mengakhiri panggilan itu, tetapi tidak bisa. Suara di seberang sana masih diam dan tidak bernapas. Tiba-tiba, Riko mendengar kalimat aneh dari telepon misterius itu: "Aku melihatmu... aku menunggumu..."


Riko merasa bulu kuduknya berdiri. Ia tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi, tetapi ia merasa bahwa ada sesuatu yang sangat tidak beres.


Setelah menerima panggilan itu, rentetan teror mulai menimpa Riko. Ia hampir tertabrak mobil ketika pulang kerja, pintu lemari di rumahnya terbuka sendiri, barang-barang di rumahnya berpindah tempat sendiri, dan bahkan ia menemukan bercak darah di bajunya.


Riko merasa bahwa nomor 99 itu benar-benar membawa petaka. Ia tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi, tetapi ia merasa bahwa ada sesuatu yang jahat yang mengikutinya.


Suatu hari, Riko memutuskan untuk menyelidiki tentang nomor 99 itu. Ia mencari informasi tentang nomor itu, tetapi tidak ada yang tahu apa-apa tentang nomor itu. Ketika ia berjalan ke perpustakaan, ia menemukan sebuah buku tua yang berisi tentang sejarah kota kecil itu.


Di dalam buku itu, Riko menemukan sebuah cerita tentang seorang wanita yang mati di perkosa di kota kecil itu. Wanita itu bernama Sarah, dan ia meninggal pada tahun 1990. Sarah telah mencoba untuk menelepon nomor darurat, tetapi tidak ada yang menjawab. Ia meninggal dalam kesepian dan kesedihan.


Riko merasa bahwa ada hubungan antara cerita itu dengan nomor 99. Ia kemudian menemukan bahwa nomor 99 adalah nomor yang Sarah coba hubungi sebelum ia meninggal. Nomor itu tidak pernah dijawab, dan Sarah meninggal dengan rasa dendam yang besar.


Riko menyadari bahwa nomor 99 adalah nomor kutukan yang dibuat oleh Sarah sebelum ia meninggal. Ia telah mengutuk semua orang yang menerima panggilan dari nomor itu untuk mengalami petaka yang sama seperti yang ia alami.


Riko tidak ingin menjadi korban kutukan itu. Ia memutuskan untuk melakukan ritual untuk membersihkan dirinya dari kutukan itu. Ia melakukan ritual itu dengan tekun, dan akhirnya ia merasa bahwa kutukan itu mulai melemah.


Setelah itu, Riko memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut tentang Sarah. Ia mencari informasi tentang makam Sarah dan menemukan bahwa Sarah dimakamkan di sebuah desa terpencil.


Riko memutuskan untuk mendatangi pemakaman itu. Ia ingin mengirim doa untuk Sarah dan berharap bahwa dengan begitu, ia bisa melepaskan diri dari kutukan itu. Ketika ia tiba di pemakaman, ia melihat makam Sarah yang sederhana. Ia membaca nama dan tanggal kematian Sarah di batu nisan.


Riko berdoa dengan sungguh-sungguh. Ia meminta maaf atas apa yang terjadi pada Sarah dan berharap bahwa Sarah bisa tenang di alamnya. Setelah berdoa, Riko merasa bahwa ada sesuatu yang berubah. Ia merasa bahwa kutukan itu telah hilang, dan ia bisa hidup dengan normal lagi.


Riko kembali ke kota dengan perasaan lega. Ia tidak pernah menerima panggilan lagi dari nomor 99, dan ia hidup dengan tenang. Ia berharap bahwa Sarah juga bisa tenang di alamnya.

Rabu, 16 April 2025

Sajadah Pertama


Azura dan Mateo telah menjalin hubungan selama tiga tahun. Mereka bertemu di universitas, dan cinta mereka tumbuh seiring waktu. Azura adalah seorang Muslimah yang taat, sementara Mateo adalah seorang Katolik yang saleh. Meskipun perbedaan agama, mereka tidak pernah membiarkan hal itu menjadi hambatan dalam hubungan mereka.


Mereka berdua memiliki visi dan misi yang sama dalam hidup, yaitu untuk mencapai kebahagiaan dan kesuksesan. Azura dan Mateo saling mendukung dan menghargai keyakinan masing-masing. Mereka sering berdiskusi tentang agama dan filosofi, dan perbedaan pandangan mereka justru membuat hubungan mereka semakin kuat.


Namun, segalanya berubah ketika keluarga Mateo mengetahui tentang hubungan mereka. Mereka menolak keras hubungan Azura dan Mateo, karena perbedaan agama yang mereka anut. Mateo merasa terjepit di antara cintanya pada Azura dan kewajiban terhadap keluarganya.Dalam bimbang dan resah, Mateo memutuskan untuk menyendiri dan berlibur di suatu negara untuk mencari tahu atas segala pertanyaan yang menghantuinya. Ia ingin memahami bagaimana Tuhan menciptakan banyak agama namun tidak bisa menyatu dalam 1 ikatan hubungan.


Selama liburan, Mateo banyak berpikir tentang kehidupan dan agamanya. Ia merasa bahwa agamanya tidak memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya. Ia mulai mempertanyakan imannya dan merasa bahwa Tuhan tidak adil.


Suatu hari, Mateo menerima kabar bahwa ibunya sakit parah dan dirawat di rumah sakit. Mateo segera kembali ke kampung halamannya dan menjenguk ibunya. Namun, saat ia tiba di rumah sakit, ibunya telah meninggal dunia. Mateo sangat terpukul dan merasa bahwa Tuhan tidak adil. Ia bertanya-tanya mengapa Tuhan membiarkan ibunya meninggal dalam keadaan sakit parah.


Peristiwa ini membuat iman Mateo semakin rapuh. Ia merasa bahwa Tuhan tidak peduli dengan penderitaannya. Ia mulai mempertanyakan eksistensi Tuhan dan merasa bahwa agama tidak memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya.


Hubungan Mateo dengan Azura juga sempat renggang setelah kepergian ibunya. Mateo merasa bahwa Azura tidak bisa memahami kesedihannya dan keputusasaannya. Azura mencoba untuk menenangkan Mateo, tetapi Mateo merasa bahwa Azura tidak bisa mengerti apa yang sedang ia alami.


Kabar bahwa Mateo ingin meninggalkan agamanya terdengar sampai ke sanak saudaranya yang lain. Mereka tidak bisa menerima keputusan Mateo dan mulai menghadapinya dengan cibiran dan cercaan. Mateo merasa dikucilkan dari keluarganya dan semakin terpukul. Ia mengalami depresi yang mendalam dan merasa bahwa tidak ada yang memahaminya.


Setelah beberapa waktu, Mateo kembali ke Azura dan meminta maaf atas ketidakhadiranannya. Azura mencoba untuk menenangkan Mateo dan membantunya menemukan kembali imannya. Namun, Mateo semakin jauh dari agamanya dan mulai mendekati Islam.


Suatu hari, Mateo meminta Azura untuk mengantarnya ke masjid. Azura merasa bahwa Mateo sedang mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya. Di masjid, Mateo bertemu dengan seorang ustadz yang bijak dan penuh kasih. Ustadz tersebut membantu Mateo menemukan kembali imannya dan memahami bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita.


Namun, ketika Mateo memutuskan untuk memeluk Islam, keluarganya sangat kecewa. Mereka merasa bahwa Mateo telah meninggalkan agamanya dan tradisinya. Mateo harus menghadapi pilihan antara agama barunya dan keluarganya.


Azura juga merasa bahwa Mateo harus membuat pilihan yang tepat. Ia tidak ingin Mateo meninggalkan agamanya yang baru, tetapi ia juga tidak ingin Mateo kehilangan keluarganya. Azura memutuskan untuk mendukung Mateo dalam setiap pilihan yang ia buat.


Mateo akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam dan menjelaskan kepada keluarganya tentang pilihannya. Meskipun keluarganya tidak sepenuhnya memahami, mereka akhirnya menerima keputusan Mateo.


Azura dan Mateo akhirnya menikah dalam sebuah upacara Islam yang sederhana. Mereka berdua bahagia dan memiliki visi yang sama dalam hidup. Mereka tahu bahwa perbedaan agama tidak lagi menjadi hambatan dalam hubungan mereka.

Mawar hitam di perantauan



Aku tumbuh dewasa di sebuah kampung kecil yang jauh dari kota. Kehidupan di kampung kami sederhana, tapi penuh dengan kesulitan. Ayahku meninggal ketika aku masih kecil, dan ibuku bekerja keras untuk membesarkanku.


Aku masih ingat saat-saat aku dan ibuku harus berjuang untuk mendapatkan makan sehari-hari. Kami sering kali hanya memiliki sedikit makanan yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. Aku merasa seperti beban bagi ibuku, tapi dia selalu mengatakan bahwa aku adalah anak yang kuat dan bisa menghadapi kesulitan.


Seiring waktu, aku tumbuh menjadi remaja yang ingin membantu ibuku. Aku mencari pekerjaan kecil-kecilan di kampung untuk membantu meningkatkan pendapatan kami. Tapi, tidak peduli seberapa keras aku bekerja, kami tetap hidup dalam kemiskinan.


Warga kampung kami sering kali menghina aku dan ibuku karena kemiskinan kami. Mereka mengatakan bahwa kami tidak bisa melakukan apa-apa karena kami tidak memiliki uang. Aku merasa seperti tidak ada harapan untuk maju, seperti aku akan terjebak dalam lingkaran kemiskinan selamanya.


Tapi, aku tidak ingin menyerah. Aku ingin membuktikan kepada diri sendiri dan orang lain bahwa aku bisa sukses. Aku ingin memberikan kehidupan yang lebih baik kepada ibuku, yang telah berjuang keras untuk membesarkanku.


Aku memutuskan untuk pergi ke ibu kota untuk mencari pekerjaan dan menghasilkan uang. Aku tahu bahwa itu tidak akan mudah, tapi aku yakin bahwa aku bisa melakukannya.


Aku berdiri di depan rumah kecil kami, menatap ibuku yang sudah berusia 80 tahun. Aku merasa berat meninggalkan dia seorang diri, tapi aku tahu bahwa aku harus pergi jika ingin mengubah nasib kami...

Aku masih ingat malam itu, ketika aku dan ibuku harus tidur dengan perut kosong karena tidak memiliki uang untuk membeli makanan. Aku berusia 10 tahun, dan ibuku telah bekerja keras sepanjang hari untuk mencari uang, tapi tidak cukup untuk membeli makanan yang layak. Kami berdua hanya memiliki sedikit beras yang tidak cukup untuk membuat nasi, dan aku masih ingat bagaimana ibuku memasak air kosong dan memberikannya kepada aku sebagai "makanan" untuk malam itu.


Aku merasa lapar dan sedih, tapi ibuku hanya memelukku dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi, tidak baik-baik saja. Keesokan harinya, aku harus pergi ke sekolah dengan perut kosong, dan aku tidak bisa konsentrasi karena lapar. Guru-guru di sekolah kami sering kali memberikan makanan kepada anak-anak yang lain, tapi tidak kepada aku karena mereka tahu bahwa ibuku tidak bisa membayar.


Warga kampung kami sering kali menghina aku dan ibuku karena kemiskinan kami. Mereka mengatakan bahwa kami tidak bisa melakukan apa-apa karena kami tidak memiliki uang. Aku merasa seperti tidak ada harapan untuk maju, seperti aku akan terjebak dalam lingkaran kemiskinan selamanya.


Aku menumpang kendaraan yang menepi di jalan, dan setelah beberapa jam perjalanan, aku akhirnya tiba di kota yang aku tuju. Aku tidak percaya apa yang aku lihat di depan mataku - bangunan tinggi nan kokoh yang menjulang ke langit. Aku merasa seperti berada di dunia lain, jauh dari kampung kecilku yang sederhana.


Aku berjalan kaki menyusuri jalan kota, mencoba memahami suasana dan kehidupan di sini. Aku melihat banyak orang berlalu-lalang, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku merasa sedikit takut dan tidak yakin apa yang harus aku lakukan.


Tiba-tiba, aku didekati oleh seorang pria yang menawarkan pekerjaan sebagai kuli panggul di sebuah pasar kecil di dekat pemukiman kota. Aku tidak memiliki pilihan lain, jadi aku menerima tawaran itu.


Aku bekerja keras setiap hari, mengangkat beban berat dan berjalan kaki sepanjang hari. Aku berharap bahwa hidupku akan lebih baik di sini, tapi ternyata tidak. Aku masih harus berjuang untuk mendapatkan uang yang cukup untuk hidup, dan aku sering kali harus tidur di tempat yang tidak layak.


Tapi, meskipun hidupku tidak seperti yang aku bayangkan, aku selalu bilang kepada ibuku di kampung bahwa hidupku di sini jauh lebih baik dan nyaman. Aku tidak ingin membuatnya khawatir, jadi aku berbohong sedikit. Aku berjanji kepada ibuku bahwa aku akan pulang membawa banyak uang dan membelikannya tempat tinggal yang layak.


Aku berharap bahwa suatu hari nanti aku bisa memenuhi janji itu, dan aku bisa memberikan kehidupan yang lebih baik kepada ibuku. Aku tidak ingin menyerah, dan aku akan terus berjuang untuk mencapai impianku.


Bulan berganti bulan, dan aku telah bekerja di kota selama setahun lamanya. Aku telah terbiasa dengan kehidupan sebagai kuli panggul, meskipun tidak mudah. Suatu malam, saat pekerjaan ku sudah selesai dan aku hendak pulang menuju tempat tinggalku, aku dihadang oleh preman. Mereka mengambil semua barang berhargaku, termasuk handphone satu-satunya barang yang ku miliki untuk tetap bisa berkomunikasi dengan ibuku di kampung.


Aku merasa takut dan tidak berdaya saat mereka memukulku dan mengambil semua yang ku miliki. Tubuhku babak belur, dan kakiku yang terseok lemas membuatku kesulitan berjalan. Aku pulang berjalan kaki dengan merintih kesakitan dan menahan tangis.


Setelah kejadian itu, aku tidak bisa menghubungi ibuku selama beberapa bulan. Aku hanya bisa mengirimkan surat kepadanya setiap minggu, dan beberapa uang untuk kebutuhan ibuku di kampung. Aku merasa sedih dan khawatir tentang keadaan ibuku, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.


Awalnya, suratku selalu dibalas oleh ibu meskipun aku harus menunggu cukup lama, tapi itu sangat menenangkanku. Namun, beberapa minggu ini aku sudah tidak lagi menerima balasan surat dari ibu. Aku berusaha menepiskan semua pikiran burukku, mungkin saja suratku belum sampai atau ibuku memang lupa membalas. Wajar saja dia sudah cukup tua untuk mengingat sesuatu.


Tepat sebulan kemudian, aku masih belum mendapat balasan surat dari ibu. Rasa khawatir mulai berselimut di pikiranku. Aku tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa sesuatu tidak beres.


Hari ini, aku mendapat banyak bonus dari bossku di pasar karena kinerjaku cukup baik. Uang tabungan ku kurasa sudah cukup banyak untuk biaya ku pulang kampung dan membelikan beberapa baju untuk ibu. Aku merasa sedikit lega dan berharap bahwa aku bisa segera bertemu dengan ibu dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak sabar untuk pulang kampung dan memeluk ibu.


Aku ijin untuk pulang kampung besoknya, dan semua barang sudah aku lipat rapi ke dalam kardus siap untuk ku bawa pulang kampung. Aku menaiki bus menuju kampung, sesampainya disana dan memasuki wilayah kampung aku sempat heran beberapa warga melihatku dengan aneh dan berbisik satu sama lain.


"Pulang kau, Hasan?" tanya salah satu warga.


"Iya pak, mau nengok ibu," jawabku dengan lentang dan suara senang.


Setelah sampai rumah, aku ketok pintu rumahku, namun tidak ada jawaban sama sekali. Ketika aku intip dari kaca jendela, rumah terlihat rapi seperti sudah lama tidak ditinggali.


Lantas aku pun bertanya kepada Pak RT yang kebetulan rumahnya bersampingan dengan rumahku. "Pak, pak permisi."


"Eh, Hasan sudah pulang kau ternyata," kata Pak RT.


"Iya pak, alhamdulilah, tapi lusa kembali ke kota lagi," jawabku.


"Alhamdulilah kalau kamu betah disana," kata Pak RT.


"Pak, ibu kemana ya? Kok saya ketuk pintunya seperti tidak ada orang," tanyaku.


Pak RT seketika terdiam dan membuang pandangannya. "Ibuk lagi kepasar ya pak?" tanyaku mendesak.


"Kok Pak RT diam? Memangnya ibu sudah pergi berapa lama pak? Oh, mungkin Pak RT tidak melihat ibuk ya," tanyaku lagi.


"Hmm, San, ibumu sudah meninggal 2 minggu yang lalu. Maafkan kami tidak mengabari kamu karena kami tidak ada yang tahu alamatmu di kota," kata Pak RT dengan suara lirih.


Dengan terkejut, kujatuhkan semua barang yang aku bawa, tubuhku yang melemas sontak terduduk di lantai. "San, yang sabar ya, insyaallah ibumu bangga kepadamu," kata Pak RT mencoba menenangkanku.


Aku yang tidak bisa berucap langsung lari ke dalam rumah, memeriksa semua berharap itu hanya gurauan. Tapi, semuanya tampak berbeda, tidak ada tanda-tanda ibu masih hidup di rumah ini. Aku merasa seperti dihantam badai, tidak bisa menerima kenyataan bahwa ibu sudah tidak ada lagi.


Aku berjalan menuju kediaman terakhir ibuku, makamnya yang terletak di sebuah bukit kecil di pinggiran kampung. Aku merasa berat dan sedih, tidak bisa menerima kenyataan bahwa ibu sudah tidak ada lagi.


Aku berdiri di depan makam ibuku, menatap nama dan tanggal wafatnya yang tertulis di batu nisan. Aku merasa seperti gagal sebagai anak, tidak bisa membalas semua pengorbanan dan kasih sayang ibuku.


"Maaf, Ibu," kataku dengan suara lirih. "Maaf aku tidak ada di saat terakhirmu. Maaf aku telah meninggalkanmu di masa tua. Maaf karena masih belum membelikannya rumah yang nyaman."


Aku merasa seperti menangis, tapi air mataku sudah habis. Aku hanya bisa berdiri diam, menatap makam ibuku dengan hati yang berat.


Aku berharap bahwa ibu bisa memaafkan aku, dan bahwa aku bisa melanjutkan hidup dengan lebih baik. Aku berjanji kepada diri sendiri bahwa aku akan selalu mengingat ibu dan melakukan yang terbaik untuk menghormati kenangan ibu.


Keesokan paginya, aku memutuskan untuk tetap tinggal di kota dan melanjutkan hidupku disana. Aku merasa bahwa ibu sudah tidak ada lagi, dan tidak ada alasan bagi aku untuk kembali ke kampung. Aku ingin melanjutkan hidupku dan mencari kebahagiaan di kota.


Aku kembali ke pekerjaan lamaku sebagai kuli panggul di pasar, dan mencoba untuk melupakan kesedihan yang aku rasakan. Aku tahu bahwa ibu sudah tidak ada lagi, tapi aku berharap bahwa dia masih melihatku dari atas, dan bahwa dia bangga dengan aku.


Aku melanjutkan hidupku dengan lebih baik, dan mencoba untuk membuat ibu bangga meskipun dia sudah tidak ada lagi. Aku tahu bahwa aku tidak bisa mengubah masa lalu, tapi aku bisa membuat masa depan yang lebih baik.

Patah dan Tumbuh

Ava, seorang wanita berusia 28 tahun, telah mencapai kesuksesan dalam karirnya sebagai seorang pengusaha. Ia memiliki perusahaan yang sukses dan kehidupan yang mapan. Namun, keluarga Ava khawatir bahwa Ava terlalu mandiri dan tidak membutuhkan cinta dalam hidupnya. Mereka berpikir bahwa Ava perlu menikah untuk memiliki kehidupan yang lebih stabil dan bahagia.


Di sisi lain, Rafael, seorang pria berusia 30 tahun, memiliki reputasi sebagai playboy. Ia tidak pernah serius dengan wanita dan tidak ingin terikat dalam hubungan yang serius. Rafael berpikir bahwa wanita tidak harus dinikahi dan hidupnya tidak perlu diatur oleh wanita.


Keluarga Ava dan Rafael memiliki hubungan yang dekat dan mereka berpikir bahwa perjodohan antara Ava dan Rafael dapat menjadi solusi yang baik. Mereka berpikir bahwa Ava dapat membantu Rafael menjadi lebih dewasa dan Rafael dapat membantu Ava menjadi lebih santai dan menikmati hidup.


Ava dan Rafael awalnya menolak ide perjodohan, tapi keluarga mereka tidak menyerah. Mereka terus-menerus membujuk dan akhirnya Ava dan Rafael setuju untuk menikah. Namun, mereka memiliki syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi dalam pernikahan mereka.


Mereka sepakat untuk membuat 1000 perjanjian tertulis dan rahasia yang akan mengatur kehidupan mereka sebagai suami istri. Perjanjian pertama adalah bahwa mereka tidak akan melakukan hubungan suami istri dan tidak akan memiliki anak. Perjanjian kedua adalah bahwa mereka akan memiliki kamar tidur yang terpisah. Perjanjian ketiga adalah bahwa mereka tidak akan memasak untuk satu sama lain.


Perjanjian lainnya termasuk:


- Mereka tidak akan menonton film romantis bersama

- Mereka tidak akan pergi berlibur berdua saja

- Mereka tidak akan memiliki hewan peliharaan bersama

- Mereka tidak akan memiliki rahasia bersama

- Mereka akan memiliki akun bank yang terpisah

- Mereka akan memiliki teman-teman yang terpisah


Ava dan Rafael berpikir bahwa dengan membuat perjanjian-perjanjian ini, mereka dapat menjaga kehidupan mereka tetap terpisah dan tidak terlalu dekat. Namun, seiring waktu, mereka mulai menyadari bahwa perjanjian-perjanjian itu tidak semudah itu untuk diikuti.


Suatu hari, Ava dan Rafael terlibat dalam cekcok yang cukup panas.


"Apa ini semua hanya lelucon?" Ava bertanya dengan nada marah. "Kita menikah hanya untuk memenuhi keinginan keluarga kita, dan sekarang kita harus mengikuti perjanjian-perjanjian yang tidak masuk akal ini."


"Aku tidak tahu apa yang kamu maksud," Rafael menjawab dengan nada dingin. "Kita sudah sepakat untuk melakukan ini, dan aku tidak ingin berubah pikiran sekarang."


"Tapi apa gunanya menikah jika kita tidak bisa bersama?" Ava bertanya dengan nada putus asa. "Kita seperti dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama."


"Aku tidak ingin terikat dalam hubungan yang serius," Rafael menjawab dengan nada tegas. "Aku ingin menjaga kebebasan aku, dan aku pikir kamu juga ingin hal yang sama."


Ava merasa kesal dengan jawaban Rafael. "Kamu tidak mengerti apa-apa tentang aku," katanya dengan nada marah. "Aku tidak ingin hidup seperti ini, dengan perjanjian-perjanjian yang tidak masuk akal dan kehidupan yang terpisah."


Rafael hanya mengangkat bahu. "Kita sudah sepakat untuk melakukan ini," katanya. "Aku tidak ingin berubah pikiran sekarang."


Cekcok antara Ava dan Rafael berakhir dengan keduanya saling diam dan tidak berbicara satu sama lain. Mereka mulai bertanya-tanya, apakah pernikahan mereka hanya sekedar formalitas, atau apakah ada sesuatu yang lebih dalam di balik perjanjian-perjanjian itu. Apakah mereka dapat menjaga perjanjian-perjanjian itu selamanya, ataukah cinta dan perasaan akan mengubah segalanya?

Ava dan Rafael telah menikah selama beberapa bulan, dan kehidupan mereka masih terpisah seperti yang mereka sepakati. Namun, kehadiran mantan Ava, Adrian, yang masih mengharapkan Ava, mulai mengganggu kehidupan mereka.


Adrian sering mengunjungi Ava di rumahnya, dan Rafael tidak suka dengan kehadiran Adrian yang masih memiliki perasaan terhadap Ava. Rafael merasa bahwa Adrian tidak memiliki hak untuk mengganggu kehidupan Ava sekarang.


Sementara itu, Rafael sendiri memiliki rahasia yang mulai terungkap. Ia masih suka bermain dengan wanita lain, dan kelakuan gilanya mulai ketahuan di depan keluarga Ava. Keluarga Ava sangat kecewa dengan Rafael dan merasa bahwa mereka telah salah memilih suami untuk Ava.


Ava sendiri merasa terjepit di antara cinta yang masih ada dengan Adrian dan kehidupan yang tidak bahagia dengan Rafael. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana menghadapi situasi ini.


Rafael, di sisi lain, merasa bahwa ia tidak perlu bertanggung jawab atas perbuatannya dan bahwa ia masih memiliki kebebasan untuk melakukan apa yang ia inginkan. Ia tidak peduli dengan perasaan Ava dan keluarga Ava, dan ia hanya memikirkan kepentingannya sendiri.


Namun, suatu hari, Ava dan Rafael bertemu kembali dengan kenangan lama yang tidak pernah mereka ingat. Ternyata, mereka pernah mabuk bersama dan melakukan hubungan intim yang tidak mereka ingat. Dan hasilnya, Ava hamil.


Ava dan Rafael sama-sama terkejut dan bingung dengan keadaan ini. Namun, seiring waktu, mereka mulai merasakan cinta dan rasa cemburu yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya.


Rafael mulai merasa cemburu dengan Adrian yang masih mengharapkan Ava, dan ia mulai menyadari bahwa ia tidak ingin kehilangan Ava. Ava juga mulai merasakan cinta yang sama terhadap Rafael, dan ia mulai menyadari bahwa ia tidak ingin kehilangan Rafael.


Kandungan Ava semakin membesar, dan cinta mereka pun ikut membesar. Drama mereka pun mulai mengecil, dan mereka mulai menikmati kehidupan bersama sebagai suami istri yang sebenarnya.


Mereka berdua menyadari bahwa pernikahan mereka tidak hanya sekedar formalitas, tetapi ada cinta dan perasaan yang sebenarnya di antara mereka. Dan mereka berdua berjanji untuk menjaga cinta mereka dan membuat kehidupan mereka bersama menjadi lebih bahagia.

Kehangatan rumah tangga Ava dan Rafael mulai tumbuh, dan mereka berdua merasa bahagia dengan kehidupan mereka bersama. Ava hamil dan Rafael sangat menyayanginya, membuat Ava merasa dicintai dan dihargai.


Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Suatu hari, Rafael menerima kabar buruk yang membuat hidupnya berubah drastis. Wanita simpanan Rafael dulu, yang telah lama tidak berhubungan dengan Rafael, ternyata telah mengandung anak Rafael.


Rafael sangat terkejut dan bingung dengan berita ini. Ia tidak tahu bagaimana menghadapi situasi ini dan bagaimana memberitahu Ava tentang hal ini.


Ketika Rafael akhirnya memberitahu Ava tentang kabar buruk ini, Ava sangat syok dan tidak bisa menerima kenyataan ini. Ia merasa bahwa Rafael telah menghianatinya dan bahwa kehidupan mereka bersama tidak berarti apa-apa bagi Rafael.


Ava sangat marah dan sedih, dan ia tidak bisa mengontrol emosinya. Ia harus dilarikan ke rumah sakit karena syok dan kelelahan. Rafael sangat khawatir tentang keadaan Ava dan anak yang dikandungnya, dan ia tidak tahu bagaimana memperbaiki keadaan.


Kehidupan rumah tangga Ava dan Rafael kini di ujung tanduk, dan mereka berdua harus menghadapi kenyataan bahwa kehidupan mereka bersama tidak akan sama lagi. Apakah mereka bisa melewati krisis ini dan memperbaiki hubungan mereka, atau apakah kehidupan mereka bersama akan berakhir?

Rafael dan wanita tersebut, yang bernama Luna, duduk di sebuah kafe yang tenang. Rafael menjelaskan bahwa ia tidak bisa menikahi Luna karena ia sudah menikah dengan Ava dan tidak ingin memadu Ava. Luna mendengarkan dengan tenang, dan kemudian ia mengangguk.


"Aku mengerti," kata Luna. "Aku tidak memintamu untuk menikahiku. Aku hanya ingin kamu bertanggung jawab atas anak ini."


Rafael mengangguk. "Aku akan membiayai hidup anak kita. Aku akan memberikanmu uang untuk kebutuhan anak kita, dan aku akan memastikan bahwa anak kita memiliki kehidupan yang baik."


Luna tersenyum sedikit. "Terima kasih, Rafael. Aku sangat menghargai itu."


Rafael dan Luna kemudian membicarakan tentang detail-detail tentang bagaimana Rafael akan membiayai hidup anak mereka. Rafael berjanji untuk memberikan Luna uang secara teratur dan untuk memastikan bahwa anak mereka memiliki kehidupan yang stabil.


Setelah mereka selesai membicarakan tentang detail-detail, Rafael merasa sedikit lebih lega. Ia tahu bahwa ia telah membuat kesalahan besar, tetapi ia berusaha untuk memperbaiki keadaan. Ia tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi ia bisa berusaha untuk membuat keadaan menjadi lebih baik.


Rafael kemudian kembali ke rumah sakit untuk menemui Ava. Ia berharap bahwa Ava sudah merasa lebih baik dan bahwa mereka bisa membicarakan tentang keadaan mereka. Ketika ia masuk ke ruangan, Ava menatapnya dengan mata yang masih merah dan bengkak.


"Apa yang terjadi dengan wanita itu?" Ava bertanya dengan suara yang lembut.


Rafael mengambil napas dalam-dalam. "Aku akan membiayai hidup anak kita. Aku tidak akan menikahinya, karena aku tidak ingin memadu kamu."


Ava menatap Rafael dengan mata yang tajam. "Apa yang kamu janjikan padanya?"


Rafael menjelaskan tentang kesepakatan yang telah ia buat dengan Luna. Ava mendengarkan dengan tenang, dan kemudian ia mengangguk.


"Aku percaya padamu," kata Ava. "Aku hanya ingin kita bisa melewati keadaan ini bersama."


Rafael merasa lega dan berterima kasih kepada Ava. Ia tahu bahwa ia telah membuat kesalahan besar, tetapi ia berusaha untuk memperbaiki keadaan. Ia berharap bahwa mereka bisa melewati keadaan ini bersama dan bahwa mereka bisa memiliki kehidupan yang bahagia lagi.

Tetesan Cinta di Usia Senja



Pak Rudi dan Bu Lestari, dua jiwa tua yang telah lama hidup sendiri, memiliki latar belakang hidup yang dramatis sebelum mereka memutuskan untuk tinggal di panti jompo.


Pak Rudi, seorang duda yang kehilangan istrinya beberapa tahun lalu karena penyakit kanker, merasa hancur dan kehilangan arah hidup. Ia dan istrinya memiliki hubungan yang sangat dekat dan memiliki tiga orang anak yang sudah dewasa. Setelah istrinya meninggal, Pak Rudi merasa sangat kesepian dan tidak tahu bagaimana cara melanjutkan hidupnya. Anak-anaknya yang sibuk dengan pekerjaan dan keluarga masing-masing tidak bisa selalu menemaninya, sehingga Pak Rudi merasa semakin kesepian. Ia memutuskan untuk menjual rumahnya dan pindah ke panti jompo, berharap bisa mendapatkan teman-teman baru dan menghabiskan sisa hidupnya dengan lebih bahagia.


Bu Lestari, seorang janda yang hidup sendiri setelah suaminya meninggal dalam kecelakaan mobil, juga memiliki latar belakang hidup yang dramatis. Ia dan suaminya memiliki hubungan yang sangat romantis dan memiliki dua orang anak yang sudah dewasa. Setelah suaminya meninggal, Bu Lestari merasa sangat terpukul dan tidak bisa melanjutkan hidupnya seperti biasa. Ia merasa bahwa hidupnya tidak memiliki arti lagi dan memutuskan untuk menjual rumahnya dan pindah ke panti jompo, berharap bisa mendapatkan dukungan dan teman-teman baru.


Di panti jompo yang tenang dan damai, Pak Rudi dan Bu Lestari bertemu dan menemukan cinta yang tulus. Pak Rudi, yang berusia 75 tahun, adalah seorang pensiunan guru yang suka membaca dan menulis puisi. Ia memiliki hati yang lembut dan selalu ingin membantu orang lain. Bu Lestari, yang berusia 70 tahun, adalah seorang ibu rumah tangga yang penuh kasih sayang dan memiliki kemampuan memasak yang luar biasa.


Suatu hari, ketika Pak Rudi sedang berjalan-jalan di koridor panti jompo, ia melihat Bu Lestari sedang duduk sendirian di ruang tamu, menatap keluar jendela dengan mata yang sayu. Pak Rudi merasa tersentuh oleh kesepian yang terpancar dari wajah Bu Lestari dan memutuskan untuk mendekatinya.


Mereka berdua mulai berbicara dan menemukan banyak kesamaan dalam minat dan pengalaman hidup. Pak Rudi terkesan oleh kemampuan memasak Bu Lestari, sementara Bu Lestari kagum dengan kemampuan menulis puisi Pak Rudi. Seiring waktu, mereka semakin dekat dan mulai menghabiskan waktu bersama. Pak Rudi sering mengajak Bu Lestari berjalan-jalan di taman panti jompo, sementara Bu Lestari membalas dengan mengajak Pak Rudi mencicipi masakan buatannya.


Mereka berdua menemukan bahwa mereka memiliki chemistry yang kuat dan mulai jatuh cinta. Namun, keduanya ragu-ragu untuk mengungkapkan perasaan mereka. Mereka takut akan reaksi penghuni panti jompo lainnya dan takut akan kehilangan kemandirian mereka. Tapi, suatu hari, Pak Rudi memutuskan untuk mengambil risiko dan mengungkapkan perasaannya kepada Bu Lestari.


Dengan jantung yang berdebar, Pak Rudi mengambil tangan Bu Lestari dan berkata, "Bu, saya merasa sangat bahagia ketika bersama dengan Anda. Saya ingin menghabiskan sisa hidup saya bersama Anda." Bu Lestari terkejut, tapi kemudian tersenyum dan berkata, "Saya juga, Pak. Saya juga ingin menghabiskan sisa hidup saya bersama Anda."


Mereka berdua kemudian memutuskan untuk tinggal bersama di panti jompo dan menghabiskan sisa hidup mereka dalam cinta dan kebahagiaan. Penghuni panti jompo lainnya menyambut hubungan mereka dengan gembira dan memberikan dukungan penuh.


Tapi, takdir memiliki rencana lain. Beberapa tahun kemudian, Bu Lestari didiagnosis dengan penyakit Alzheimer. Pak Rudi sangat terpukul oleh berita itu dan berusaha untuk selalu mendampingi Bu Lestari. Ia menjadi pengasuh utama Bu Lestari dan melakukan segala yang bisa untuk membuatnya bahagia. Namun, penyakit Bu Lestari semakin parah dan ia mulai kehilangan ingatannya. Pak Rudi sangat sedih melihat Bu Lestari yang semakin tidak mengenalinya. Ia terus berusaha untuk membuat Bu Lestari bahagia, walaupun itu sangat sulit.


Suatu hari, Bu Lestari meninggal dunia di pangkuan Pak Rudi. Pak Rudi sangat terpukul oleh kepergian Bu Lestari dan merasa bahwa hidupnya tidak memiliki arti lagi. Ia menghabiskan sisa hidupnya dengan mengenang kenangan indah bersama Bu Lestari dan berharap bisa bersamanya lagi di kehidupan selanjutnya.


Pak Rudi membuktikan bahwa cinta tidak mengenal usia dan bahwa kehidupan masih penuh dengan kejutan dan kebahagiaan, tapi juga penuh dengan kesedihan dan kehilangan. Ia hidup sendiri di panti jompo, dikelilingi oleh teman-teman yang menyayangi dia, tapi hatinya akan selalu bersama Bu Lestari.

Di setiap pagi setelah subuh, Pak Rudi selalu menjadi orang pertama yang mendatangi pemakaman Bu Lestari. Ia membawa bunga segar dan berdoa untuk arwah Bu Lestari. Ia berbicara kepada Bu Lestari seolah-olah ia masih hidup, menceritakan tentang kehidupannya sehari-hari dan mengenang kenangan indah bersama Bu Lestari.


Pak Rudi merasa bahwa dengan mengunjungi pemakaman Bu Lestari setiap hari, ia bisa tetap terhubung dengan Bu Lestari dan merasakan kehadirannya. Ia juga merasa bahwa dengan melakukan hal ini, ia bisa menunjukkan cintanya kepada Bu Lestari walaupun ia sudah meninggal dunia.


Teman-teman Pak Rudi di panti jompo melihat perubahan pada dirinya setelah kepergian Bu Lestari. Mereka melihat bahwa Pak Rudi menjadi lebih tenang dan damai setelah mengunjungi pemakaman Bu Lestari setiap hari. Mereka juga melihat bahwa Pak Rudi masih memiliki cinta yang kuat kepada Bu Lestari dan bahwa cinta itu tidak akan pernah mati.


Pak Rudi hidup sendiri di panti jompo, tapi ia tidak pernah merasa kesepian karena ia tahu bahwa Bu Lestari selalu bersamanya dalam hatinya. Ia terus mengenang kenangan indah bersama Bu Lestari dan berharap bisa bersamanya lagi di kehidupan selanjutnya. Dan di setiap pagi setelah subuh, Pak Rudi akan selalu menjadi orang pertama yang mendatangi pemakaman Bu Lestari, membawa bunga segar dan berdoa untuk arwah Bu Lestari.

Selasa, 15 April 2025

AKU KALAH


ini adalah tahun yang kelima bersama aku dan kekasihku panggil saja dia Aryo, dia adalah pria yang baik yang mengisi kekosongan setelah keluargaku tercerai-berai.

Dulu dia adalah kakak tingkat ku waktu di SMA, tapi tak terduga sekarang dia menjadi pendampingku dan satu-satunya orang yang aku percaya.

Sejauh ini kami masih belum ada fikiran untuk menikah, karena kami berfikir itu bukan hal yang mudah untuk kami yang kadang masih egois dan meributkan hal-hal kecil lainnya.

Sejauh ini tidak ada masalah besar yang membuat kami putus, semua selalu terselesaikan dengan baik. 

Dimana pun ada aku selalu ada Aryo, sampai teman-teman menjuluki kami romeo and juliet versi sederhana karena kami yang selalu berpenampilan apa adanya dan sederhana. Aryo terkenal sebagai lelaki yang pendiam dan minim sekali bergaul dengan teman sebaya nya.

Pada suatu hari kami mengalami cekcok luar biasa, dan aku baru kali ini melihat Aryo kebingungan menjawab pertanyan-pertanyaan ku, padahal setiap ada masalah dia yang selalu berusaha menjelaskan masalah itu sampai aku mengerti.

Suatu hari tepat ulang tahun nya aku ingin memberi dia kejutan dengan tiba-tiba kerumahnya dan membawa kue, hal ini biasa aku lakukan setiap dia ulang tahun.

Seperti biasanya kita rayakan hal itu dengan happy dan sangat sederhana, lalu setelah Aryo meniup lilin dia izin pergi ke kamar mandi.

Tak sengaja notif hp dari Aryo berbunyi tanda ada pesan  masuk, aku lihat itu pesan dari operator hp nya.

Tak ada firasat buruk apapun dan aku masih berfikir positif, sampai akhirnya notif pesan dari operator kembali muncul dan beberapa kali muncul, karena aku yang penasaran aku buka pesan itu.

Betapa terkejut nya setelah aku membaca pesan yang ternyata bukan dari operator, melain kan dari wanita lain yang sengaja dia ganti namanya.

"Selamat ulang tahun aryo, semoga panjang umur ya"

"Terimakasih atas waktu yang sudah kamu luangin buat aku meskipun kita harus diem-dieman gini"

"Tapi gapapa kok, aku tau laras lebih butuh kamu setelah ayah ibunya bercerai"

"Aku tau kok kamu kuat menjalani hubungan yang kamu sendiri pun sebenernya gak mau jalani lagi, tapi setelah ini kamu janji ya harus ngomong ke ibunya laras kalau kamu gak bisa pura-pura cinta sama laras terus"

"Aku bakal nungguin kamu disini, aku juga sudah bilang keluarga ku kalau aku bakal kenalin kamu ke mereka"

Seketika jatungku terasa mau berhenti, otak ku ingin meledak.

Aku harus berkata apa lagi ke diriku sendiri setelah ini? Aku harus percaya siapa lagi? 

Setelah aryo kembali, aku lantas meminta penjelasan dari dia atas pesan itu. Sekata pun tidak keluar dari mulutnya, yang menandakan semua pesan yang aku baca itu benar adanya. Tidak ada pembelaan dan tidak ada penjelasan sedikitpun untuk membuatku tenang.

Aku yang sudah sangat hancur, segera berlari meninggalkan rumah Aryo. 

Semua akun sosmed,nomor telfon dan apapun tentang Aryo aku sudah memblokirnya, sesakit hati itu aku padanya.

Orang yang selama ini aku anggap cinta matiku ternyata penipu yang sangat handal, tega menyakiti dengan semua rencananya.

Dan benar saja aku tau wanita itu siapa, dia Kaluna mantan dari Aryo dan aku tau itu.

Aku kira bersama dengan ku mereka akan selesai, ternyata aku yang mereka selesaikan.

Yaaap... aku kalah, aku bodoh, dan aku terpedaya oleh ekpektasiku sendiri.

Aku remuk remuk sendiru, ingin mati saja rasanya tapi terlalu sulit.

Jadi hubungan ku dengannya hanya mengisi kekosongan yang ada, hanya terbentuk dari rasa kasihan bukan cinta.

Aku yang membangun dengan susah payah, namun orang lain yang memenangkannya. 


"Aku kira kamu tidak siap melangkah lebih lanjut karena memang belum siap, ternyata bukan aku yang kamu mau"


Pesan Terakhir

(swara djiwa) pada waktu terakhir pesan itu kau layang kan, bait demi bait sengaja ku baca dengan suara perlahan. saat ku mulai mengerti art...