Aku tumbuh dewasa di sebuah kampung kecil yang jauh dari kota. Kehidupan di kampung kami sederhana, tapi penuh dengan kesulitan. Ayahku meninggal ketika aku masih kecil, dan ibuku bekerja keras untuk membesarkanku.
Aku masih ingat saat-saat aku dan ibuku harus berjuang untuk mendapatkan makan sehari-hari. Kami sering kali hanya memiliki sedikit makanan yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. Aku merasa seperti beban bagi ibuku, tapi dia selalu mengatakan bahwa aku adalah anak yang kuat dan bisa menghadapi kesulitan.
Seiring waktu, aku tumbuh menjadi remaja yang ingin membantu ibuku. Aku mencari pekerjaan kecil-kecilan di kampung untuk membantu meningkatkan pendapatan kami. Tapi, tidak peduli seberapa keras aku bekerja, kami tetap hidup dalam kemiskinan.
Warga kampung kami sering kali menghina aku dan ibuku karena kemiskinan kami. Mereka mengatakan bahwa kami tidak bisa melakukan apa-apa karena kami tidak memiliki uang. Aku merasa seperti tidak ada harapan untuk maju, seperti aku akan terjebak dalam lingkaran kemiskinan selamanya.
Tapi, aku tidak ingin menyerah. Aku ingin membuktikan kepada diri sendiri dan orang lain bahwa aku bisa sukses. Aku ingin memberikan kehidupan yang lebih baik kepada ibuku, yang telah berjuang keras untuk membesarkanku.
Aku memutuskan untuk pergi ke ibu kota untuk mencari pekerjaan dan menghasilkan uang. Aku tahu bahwa itu tidak akan mudah, tapi aku yakin bahwa aku bisa melakukannya.
Aku berdiri di depan rumah kecil kami, menatap ibuku yang sudah berusia 80 tahun. Aku merasa berat meninggalkan dia seorang diri, tapi aku tahu bahwa aku harus pergi jika ingin mengubah nasib kami...
Aku masih ingat malam itu, ketika aku dan ibuku harus tidur dengan perut kosong karena tidak memiliki uang untuk membeli makanan. Aku berusia 10 tahun, dan ibuku telah bekerja keras sepanjang hari untuk mencari uang, tapi tidak cukup untuk membeli makanan yang layak. Kami berdua hanya memiliki sedikit beras yang tidak cukup untuk membuat nasi, dan aku masih ingat bagaimana ibuku memasak air kosong dan memberikannya kepada aku sebagai "makanan" untuk malam itu.
Aku merasa lapar dan sedih, tapi ibuku hanya memelukku dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi, tidak baik-baik saja. Keesokan harinya, aku harus pergi ke sekolah dengan perut kosong, dan aku tidak bisa konsentrasi karena lapar. Guru-guru di sekolah kami sering kali memberikan makanan kepada anak-anak yang lain, tapi tidak kepada aku karena mereka tahu bahwa ibuku tidak bisa membayar.
Warga kampung kami sering kali menghina aku dan ibuku karena kemiskinan kami. Mereka mengatakan bahwa kami tidak bisa melakukan apa-apa karena kami tidak memiliki uang. Aku merasa seperti tidak ada harapan untuk maju, seperti aku akan terjebak dalam lingkaran kemiskinan selamanya.
Aku menumpang kendaraan yang menepi di jalan, dan setelah beberapa jam perjalanan, aku akhirnya tiba di kota yang aku tuju. Aku tidak percaya apa yang aku lihat di depan mataku - bangunan tinggi nan kokoh yang menjulang ke langit. Aku merasa seperti berada di dunia lain, jauh dari kampung kecilku yang sederhana.
Aku berjalan kaki menyusuri jalan kota, mencoba memahami suasana dan kehidupan di sini. Aku melihat banyak orang berlalu-lalang, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku merasa sedikit takut dan tidak yakin apa yang harus aku lakukan.
Tiba-tiba, aku didekati oleh seorang pria yang menawarkan pekerjaan sebagai kuli panggul di sebuah pasar kecil di dekat pemukiman kota. Aku tidak memiliki pilihan lain, jadi aku menerima tawaran itu.
Aku bekerja keras setiap hari, mengangkat beban berat dan berjalan kaki sepanjang hari. Aku berharap bahwa hidupku akan lebih baik di sini, tapi ternyata tidak. Aku masih harus berjuang untuk mendapatkan uang yang cukup untuk hidup, dan aku sering kali harus tidur di tempat yang tidak layak.
Tapi, meskipun hidupku tidak seperti yang aku bayangkan, aku selalu bilang kepada ibuku di kampung bahwa hidupku di sini jauh lebih baik dan nyaman. Aku tidak ingin membuatnya khawatir, jadi aku berbohong sedikit. Aku berjanji kepada ibuku bahwa aku akan pulang membawa banyak uang dan membelikannya tempat tinggal yang layak.
Aku berharap bahwa suatu hari nanti aku bisa memenuhi janji itu, dan aku bisa memberikan kehidupan yang lebih baik kepada ibuku. Aku tidak ingin menyerah, dan aku akan terus berjuang untuk mencapai impianku.
Bulan berganti bulan, dan aku telah bekerja di kota selama setahun lamanya. Aku telah terbiasa dengan kehidupan sebagai kuli panggul, meskipun tidak mudah. Suatu malam, saat pekerjaan ku sudah selesai dan aku hendak pulang menuju tempat tinggalku, aku dihadang oleh preman. Mereka mengambil semua barang berhargaku, termasuk handphone satu-satunya barang yang ku miliki untuk tetap bisa berkomunikasi dengan ibuku di kampung.
Aku merasa takut dan tidak berdaya saat mereka memukulku dan mengambil semua yang ku miliki. Tubuhku babak belur, dan kakiku yang terseok lemas membuatku kesulitan berjalan. Aku pulang berjalan kaki dengan merintih kesakitan dan menahan tangis.
Setelah kejadian itu, aku tidak bisa menghubungi ibuku selama beberapa bulan. Aku hanya bisa mengirimkan surat kepadanya setiap minggu, dan beberapa uang untuk kebutuhan ibuku di kampung. Aku merasa sedih dan khawatir tentang keadaan ibuku, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Awalnya, suratku selalu dibalas oleh ibu meskipun aku harus menunggu cukup lama, tapi itu sangat menenangkanku. Namun, beberapa minggu ini aku sudah tidak lagi menerima balasan surat dari ibu. Aku berusaha menepiskan semua pikiran burukku, mungkin saja suratku belum sampai atau ibuku memang lupa membalas. Wajar saja dia sudah cukup tua untuk mengingat sesuatu.
Tepat sebulan kemudian, aku masih belum mendapat balasan surat dari ibu. Rasa khawatir mulai berselimut di pikiranku. Aku tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa sesuatu tidak beres.
Hari ini, aku mendapat banyak bonus dari bossku di pasar karena kinerjaku cukup baik. Uang tabungan ku kurasa sudah cukup banyak untuk biaya ku pulang kampung dan membelikan beberapa baju untuk ibu. Aku merasa sedikit lega dan berharap bahwa aku bisa segera bertemu dengan ibu dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak sabar untuk pulang kampung dan memeluk ibu.
Aku ijin untuk pulang kampung besoknya, dan semua barang sudah aku lipat rapi ke dalam kardus siap untuk ku bawa pulang kampung. Aku menaiki bus menuju kampung, sesampainya disana dan memasuki wilayah kampung aku sempat heran beberapa warga melihatku dengan aneh dan berbisik satu sama lain.
"Pulang kau, Hasan?" tanya salah satu warga.
"Iya pak, mau nengok ibu," jawabku dengan lentang dan suara senang.
Setelah sampai rumah, aku ketok pintu rumahku, namun tidak ada jawaban sama sekali. Ketika aku intip dari kaca jendela, rumah terlihat rapi seperti sudah lama tidak ditinggali.
Lantas aku pun bertanya kepada Pak RT yang kebetulan rumahnya bersampingan dengan rumahku. "Pak, pak permisi."
"Eh, Hasan sudah pulang kau ternyata," kata Pak RT.
"Iya pak, alhamdulilah, tapi lusa kembali ke kota lagi," jawabku.
"Alhamdulilah kalau kamu betah disana," kata Pak RT.
"Pak, ibu kemana ya? Kok saya ketuk pintunya seperti tidak ada orang," tanyaku.
Pak RT seketika terdiam dan membuang pandangannya. "Ibuk lagi kepasar ya pak?" tanyaku mendesak.
"Kok Pak RT diam? Memangnya ibu sudah pergi berapa lama pak? Oh, mungkin Pak RT tidak melihat ibuk ya," tanyaku lagi.
"Hmm, San, ibumu sudah meninggal 2 minggu yang lalu. Maafkan kami tidak mengabari kamu karena kami tidak ada yang tahu alamatmu di kota," kata Pak RT dengan suara lirih.
Dengan terkejut, kujatuhkan semua barang yang aku bawa, tubuhku yang melemas sontak terduduk di lantai. "San, yang sabar ya, insyaallah ibumu bangga kepadamu," kata Pak RT mencoba menenangkanku.
Aku yang tidak bisa berucap langsung lari ke dalam rumah, memeriksa semua berharap itu hanya gurauan. Tapi, semuanya tampak berbeda, tidak ada tanda-tanda ibu masih hidup di rumah ini. Aku merasa seperti dihantam badai, tidak bisa menerima kenyataan bahwa ibu sudah tidak ada lagi.
Aku berjalan menuju kediaman terakhir ibuku, makamnya yang terletak di sebuah bukit kecil di pinggiran kampung. Aku merasa berat dan sedih, tidak bisa menerima kenyataan bahwa ibu sudah tidak ada lagi.
Aku berdiri di depan makam ibuku, menatap nama dan tanggal wafatnya yang tertulis di batu nisan. Aku merasa seperti gagal sebagai anak, tidak bisa membalas semua pengorbanan dan kasih sayang ibuku.
"Maaf, Ibu," kataku dengan suara lirih. "Maaf aku tidak ada di saat terakhirmu. Maaf aku telah meninggalkanmu di masa tua. Maaf karena masih belum membelikannya rumah yang nyaman."
Aku merasa seperti menangis, tapi air mataku sudah habis. Aku hanya bisa berdiri diam, menatap makam ibuku dengan hati yang berat.
Aku berharap bahwa ibu bisa memaafkan aku, dan bahwa aku bisa melanjutkan hidup dengan lebih baik. Aku berjanji kepada diri sendiri bahwa aku akan selalu mengingat ibu dan melakukan yang terbaik untuk menghormati kenangan ibu.
Keesokan paginya, aku memutuskan untuk tetap tinggal di kota dan melanjutkan hidupku disana. Aku merasa bahwa ibu sudah tidak ada lagi, dan tidak ada alasan bagi aku untuk kembali ke kampung. Aku ingin melanjutkan hidupku dan mencari kebahagiaan di kota.
Aku kembali ke pekerjaan lamaku sebagai kuli panggul di pasar, dan mencoba untuk melupakan kesedihan yang aku rasakan. Aku tahu bahwa ibu sudah tidak ada lagi, tapi aku berharap bahwa dia masih melihatku dari atas, dan bahwa dia bangga dengan aku.
Aku melanjutkan hidupku dengan lebih baik, dan mencoba untuk membuat ibu bangga meskipun dia sudah tidak ada lagi. Aku tahu bahwa aku tidak bisa mengubah masa lalu, tapi aku bisa membuat masa depan yang lebih baik.