Jumat, 20 Desember 2024

Tentangmu dan segala isinya


1. 2021

Kadang, aku terjebak dalam kenangan tahun itu,
Hujan deras, bayanganmu mulai memudar.
Aku menawarkan payung, namun kau terlalu jauh,
Aku berlari, berharap kau menoleh dan menerima.

Namun, dari kejauhan ada bayangan lain,
Yang ingin memelukmu, menghapusku.
Kau menoleh kepadanya, mengacuhkanku.
Ini bukan soal hujan, tapi soal kita.

Kedekatan kita yang ternyataa tak seistimewa itu,
Di dekatmu, hangatnya tak tergantikan.
Dekapanmu melekat, namun hanya aku yang merasakan.
Aku ingin bersandar, tapi ternyata aku sendiri.

Tidak apa, biar bising memenuhi pikiranku,
Aku merindu, bukan menginginkan yang lalu.
Ingin memulai tahun baru, lepas harap dan lelah.

Ditahun berikutnya, harapan itu pupus.
Hilang akal, hatiku masih terpaut.
Terasa terkoyak setiap malam,
Membingungkan kenapa ini bisa terjadi.

Aku dipaksa bertahan dalam ingatan tentangmu.
Tentang kita di masa lampau.
Pergi saja, ambil ingatanku sebagai penggantinya.
Biarkan aku bebas, seperti burung yang terlepas sekalipun hilang ingatan beserta isinya. 



2.Kemeja biru

Laki-laki itu, dengan kemeja biru tanpa dosa.
Kacamata hitam, kumis tipis terhampar,
Suara lantangnya memanggil namaku, tak terlupakan.

Matanya berbinar seperti bintang malam,
Senyumnya menghipnotis, tak terelakkan.
Kemudahan bicaranya, membuatku nyaman,
Dalam diam, aku menyukainya, tak terucapkan.

Kemeja biru itu seolah-olah mempesona,
Menggambarkan kepribadian yang tenang dan dalam.
Aku tak tahu apa yang tersembunyi,
Di balik senyum dan kata-katanya yang manis.
Dalam tatapan ku, aku mulai menginginkannya,

Tapi aku yakin, di hatinya terdapat,
Kisah cinta yang belum terungkapkan, rahasia yang tersembunyi.
Dan aku berharap, suatu hari nanti,
Aku akan menjadi bagian dari kisah itu.

Dalam mimpi, aku melihatnya mendekat,
Dengan senyum yang sama, dan kemeja biru yang tak berubah.
Aku merasakan getaran hati yang tak terhenti,
Cinta yang tumbuh, tak terkontrol.

Mungkin ini cinta pada pandangan pertama,
Atau mungkin ini cinta yang tak terduga.
Tapi yang pasti, aku tak bisa menyangkal,
Perasaan ini, tak terucapkan.



3. Kopi yang tumbuh

Di café yang ramai, malam dingin bersemayam. Kami berdua terlena, dalam kesenangan tak terhingga.
Dua cangkir kopi, penghangat hati dan jiwa.
Aroma yang kaya, membangkitkan cinta yang tak terucap.

Kopi hitam pekat, dengan krim yang manis,
Menghangatkan tangan dan memanjakan hati.
Cemilan kentang renyah, menemani obrolan.
Tawa dan senyum, menghangatkan suasana.

Aku menatapmu, kau menatapku,
Kata-katamu manis, "Kamu cantik" Dan kamu  tampan malam itu.
Alunan musik lembut, kau nyanyikan dengan hati,
Aku harap itu untukku.

Malam ini, tak ingin berakhir.
Karena bersamamu, hati ini menemukan hangatnya.
Kopi yang kita minum, seolah-olah mempersatukan,dua jiwa yang terpisah dalam cinta yang sama.

Dalam kesunyian café, kita berdua terhubung dengan senyum, dan kata-kata yang tak terhingga.
Malam yang dingin, menjadi hangat karenamu,
Cinta yang tumbuh, dalam setiap detik.

Kopi ini, seolah-olah simbol cinta kita.
Hangat, manis, dan tak terlupakan.
Aku ingin terus, menikmati malam ini bersamamu dengan kopi, dan cinta yang tumbuh.


4. Sudut yang hilang

Di sudut rumah ini, kenangan kita berserakan
Lukisan dinding yang terukir, cinta yang tak terucapkan.
Warna-warna cerah, senyum dan tawa kita menghiasi dinding, tak terlupakan.

Kursi tua di teras, tempat kita berbincang.
Mengenang malam-malam hangat, nyaman dan tak terpisahkan.
Lampu gantung, cahaya kenangan.
Menerangi sudut-sudut yang pernah kita panggil rumah.

Dinding-dinding yang pernah kita lukis bersama menggambarkan cinta yang tak pernah terungkapkan.
Setiap goresan, setiap warna mengingatkan kenangan yang tak terlupakan.

Meskipun tak pernah menjalin status.
Kedekatan kita terasa begitu nyata.
Di setiap sudut, di setiap ruang.
Aku merasakan kehangatan tentangmu

Waktu berlalu, kenangan tetap abadi.
Di rumah ini, cinta kita tak pernah berakhir.
Aku masih merasakan hangatnya pelukanmu,
Di setiap sudut, di setiap detik.


5. Hari yang kau sebut perayaan

Pesta perayaanmu, megah dan indah.
Tapi di balik senyum, aku sembunyikan luka.
Hari ini kau menikah dengan bahagia.
Tapi aku terluka, hati patah dua.

Kembang yang merekah, cahaya yang terang.
Tapi di hatiku kekecewaan membakar.
Aku menyembunyikan air mata menyaksikan kebahagiaanmu bersama dia.

Rasa luka yang terpendam tak terucapkan.
Aku pandai menyembunyikannya di balik senyumku.
Tapi sakitnya tak terhingga menghantam hati.
Melihat kebahagiaanmu bersama dia.

Berbahagialah dengan dia biar aku sembuh sendiri.
Kau berhak bahagia, dan aku berhak menyimpan luka.
Tak usah kau pikirkan biar ini menjadi urusan ku.
Tugasmu hanya bahagia, tugasku hanya menutup mata.

Selamat menikah, semoga bahagia.
Meski aku tak bisa melupa tapi biarlah.
Hari ini, hari patah hatiku.
Tapi aku berharap kau bahagia.


6. Hari yang kau sebut perayaan (2)

Malam perayaanmu, malam kebisinganku.
Hati berhenti di detik itu juga.
Pesta pernikahanmu, pesta kepedihan.
Menggandengnya dan bukan aku.

Gaun putih yang kusimpan sengaja kau ambil.
Untuknya bukan aku yang kau pilih.
Bunga yang kita rangkai kini kau lepaskan.
Mimpi kita terhenti di malam itu.

Aku hadiri pesta itu dengan hati berat.
Tamu-tamu bersorak aku terpaksa bertepuk tangan.
Kau sambut aku seolah tidak pernah ada yang terjadi.
Tapi kau tau aku tak sekuat itu.

Lampu-lampu yang menerangi malammu.
Mengiringi hatiku yang semakin gelap.
Bahagialah, aku tidak peduli lagi!!
Biar ini menjadi yang terakhir sebelum aku benar-benar hilang dari muka bumi.

Selamat menikah, perjalananmu dimulai  milikku berakhir.
Semoga bahagia, di setiap langkahmu.


7. Rekayasa Lagu

Dalam irama lagu itu aku mendengar suaramu berisi namun kadang juga hampa.
Kenangan kita, melodi cinta yang tak terlupakan.
Tapi kehilangan nada sedih yang tak terhenti.

Senyummu kini bayang yang menghilang saat kita bernyanyi bersama hati terbelah.
Kesunyian adalah jurang yang tak terisi 
Kenangan kita terjebak di dasarnya.

Suaramu kini menjadi angin yang berlalu meninggalkan kesunyian yang tak terobati.
Hati ini kapal karam, terdampar di laut kesedihan.
Cinta kita terbenam dalam kegelapan.

Wajahmu kini lukisan yang pudar.
Saat kita bernyanyi bersama cinta terukir.
Kini, hanya kenangan yang terpatri.
Dalam hati yang terus berdarah.

Lagu itu kini menjadi kenangan.
Mengingatkanku pada cinta kita.
Meski berlalu, melodi itu tetap hidup.
Dalam hati yang terus merindukan.

Semoga abu kenangan kita tetap hangat.



8. Pesan berkesan


Tengah malam layar bercahaya, pesan masuk  hati berdegup.
Nama tak dikenal tapi kata-katanya manis.
Membuatku penasaran tak bisa tidur.

Kata-katamu bunga di taman hati.
Mekar dengan sentuhan lembut.
Kau adalah cahaya pagi
Menerangi malam yang gelap.

Pesan diketik, hati terkirim.
Lucu meski tak ada wujud.
Tapi pesan itu selalu setia.
Aku menunggu, walau lebam mata ini.

Diketik mulut berbisik.
Mimpi indah tercipta.
Membuatku berpikir.
Harus dibalas dengan apa?

Pesan terbalas, kata yang tepat,
Bukan "suka", tapi "kamu cantik".
Membuatku tersenyum.
Malam ini hati bahagia.

Pesan pertama benih cinta yang tumbuh.
Membunga dalam hati tak terlupakan.
Semoga awal indah ini menjadi keabadian.



9. Seperti Angin


Kau datang seperti cahaya pagi membawa harapan, menghilangkan malam.
Senyummu bunga yang mekar.
Membuat hati ini berdebar.

Kau seakan terlahir untukku.
Dunia ini kau janjikan untukku.
Kata-katamu madu yang manis membuatku percaya kita ini nyata.

Tapi kau pergi tanpa peringatan.
Meninggalkan kesedihan dan kekosongan.
Hati ini terbelah seperti oase kering.
Mencari jawaban tak terucap.

Kau tinggalkan kenangan manis, tapi juga luka yang dalam.
Aku terjebak dalam masa lalu.
Mencari cinta yang hilang.

Kau datang dan pergi seperti angin.
Membawa harapan, lalu menghilang.
Namun kenanganmu tetap hidup.
Dalam hati yang terluka dan kita yang sempat ada.


10. Yang Terdalam

Mata indahmu, permata biru.
Memancarkan cahaya menari dalam hati.
Kedalamanmu lautan tak terhingga, menarikku ke dalam tak terlepas.

Senyum di balik kelopakmu,
Menghidupkan impian menggetarkan jiwa.
Cahaya matamu sinar surya.
Menerangi malam menghangatkan hati.

Mata yang menarik perhatian memikat siapa saja yang melihat.
Dalam sekilas hati terjebak.
Tak terlepas dari pesona mu.

Kemurnian hati kejujuran jiwa.
Memancarkan kekuatan tak terhingga.
Dalam matamu aku melihat kebijaksanaan.
Sebuah jiwa yang tak terjamah.

Mata indahmu harta tak terhargai.
Membuatku terpikat, tak terlepas.
Dalam kedalamanmu aku menemukan cinta.
Yang tak terucap dan tak tergantikan.

Mata indahmu keindahan abadi membuatku terpesona tak terlupakan.
Dalam matamu aku menemukan rumah.



11.Rumah singgah 

Dalam hatimu, aku menemukan rumah.
Singgah sejenak, dari badai hidup.
Kau terima aku dengan senyum hangat membuatku merasa aman tak terlupakan.

Kau bukan rumah abadi tapi singgah yang menyenangkan.
Kau berikan kehangatan.
Mengusir kesepian.

Rumahmu dulu taman indah,
Kini menjadi gurun kering.
Dindingnya retak, atapnya bocor.
Kehangatanmu kini tinggal kenangan.

Aku mencari kehangatan tapi kau tinggalkan kekosongan.
Rumah singgahmu, kini berantakan.
Membuatku terjebak dalam kesedihan.

Kau rumah fatamorgana ilusi indah menghilang saat ku butuhkan.
Kau bukan rumah, tapi hanya bayang.
Membuatku terjatuh dalam kesepian.

Semoga langkahku selanjutnya,
Menemukan rumah yang sebenarnya.



12. Kau, Aku, dan Bayang

Bayangmu terukir di dinding malam,
Siluet kuat, tak terlupakan.
Aroma melati pekat mengiringi.
Kaca mata hitam, senyum samar.

Bahu lebar, lengan kuat menjadi tempat berlindung.
Suara hati berdebar.
Tangan yang memegang, membuatku merasa aman.

Kemeja rapi kacamata setengah bulat.
Membuatku penasaran apa di baliknya?
Kau adalah puisi tak terbaca.
Rahasia yang tersembunyi, senyum yang manis.

Kau berdiri di antara cahaya dan bayang
Suara bisikan lembut menemani malam.
Membuatku penasaran, siapakah kau yang tersembunyi di balik siluet kuatmu?

Apa yang kau sembunyikan?
Mengapa senyummu begitu misterius?
Apakah di balikmu terdapat rahasia?
Atau hanya bayang yang tak terjawab?

Apakah kau melarikan diri dari masa lalu?
Suara langkahmu mengiringi malam.
Atau mencari kebenaran yang hilang?
Apa yang membuatmu tetap berdiri?



13. Wanita Gila

Kau terpatri dalam jiwaku,
Tak terpisahkan bayangmu sungguh menghantui.
Aku terobsesi tak terkendali.
Ingin kau hanya untukku, selamanya.

Dalam kegelapan egoku kau adalah obsesi.
Terkurung dalam hati yang tak pernah berhenti berdegup.
Aku ingin mengunci kau dalam cinta tak terbatas.
Membuat kau tak bisa terlepas dari genggamanku.

Kau adalah mutiara yang harus kucari.
Permata yang harus kubawa ke pangkuan hati.
Aku memaksa hatimu untuk memilihku.
Seolah tak ada pilihan lain.

Tapi, kau masih bebas tak terikat.
Membelah hatiku dengan kebebasanmu yang tajam.
Rasa sakit ini, apakah cinta atau keserakahan?
Mengapa kau tak milikku?

Kau harus memilihku, tak ada pilihan lain.
Cintaku mengikat tak terlepas.
Jika aku tak bisa memilikimu, seluruh dunia pun tak boleh memilikimu.

Tetaplah hidup, sampai akhir hayat.
Bersamaku, wanita gilamu.
Dalam cinta yang tak terpisahkan.
Kita terikat, selamanya.



14. Rintik dan detik 

Rintik hujan kemarin,
Membawa kenangan yang tak terlupakan.
Suara air yang jatuh mengingatkanku akan kehilangan.

Bayanganmu, yang dulu terang,
Sekarang hilang dalam kabut.
Pelukan hangatmu kini renggang,
Digantikan dinginnya hujan.

Air mataku sengaja tersapu,
Hujan menyembunyikan kesedihanku.
Tapi aroma kenangan tetap lekat,
Di sepanjang jalan yang pernah kita lalui.

Suasana syahdu mendadak pilu,
Waktu berlalu detik menjadi rintik.
Malam tak lagi ku inginkan,
Karena hujan memaksaku menghapusmu.

Hari ini hujan berhenti,
Tetapi rasa sakit tetap ada.
Kehilangan yang tak tergantikan,
Membuat hati terasa kosong.

Rintik-rintik yang lembut,
Sekarang terdengar sebagai ratapan.
Air hujan yang jernih,
Mengalirkan air mataku.

Semoga waktu tidak akan pernah menyembuhkan,
Luka yang kau tinggalkan.
Rintik hujan kemarin,
Mengingatkanku akan kita yang sempat ada.



15. Pilihan Hidup

Pada cinta yang kini mulai usang,
Entah untuk mengenang nostalgia atau merayakan kehilangan abadi.
Masa indah yang pernah kita ukir,
Kini hanya meninggalkan luka dan kenangan.

Waktu berlalu tanpa ampun,
Menghapus senyummu yang dulu begitu cerah.
Tangan yang terbiasa digenggam,
Kini perlahan melepas dengan hati berat.

Kehilangan, bukanlah akhir tapi awal dari kebijaksanaan.
Cinta kita, meskipun berakhir meninggalkan makna abadi.
Dalam hati, kenangan kita tetap hidup.

Kerinduan ini masih terasa,
Namun pilihan hidup harus dijalani.
Semoga kebahagiaan menyertai,
Di setiap langkahmu yang baru.


16. Nama yang sama

Aku menemukan namamu di jiwa yang berbeda,
Di wajah dan bayang yang berbeda.
Seolah buku yang lama sengaja aku tutup terbuka kembali oleh angin yang meniup.
Aku kira itu kamu.
Nyatanya hanya sebaris kata yang sama. 
Ini tidak selucu biasanya,
Hanya saja mendengar namamu membuat aku terpanah. 
aku kira akan sama, namun nyatanya berbeda.
Menemukan rasa di sosok yang berbeda. 
Menggali dalam nya ingatan yang pernah ada.
Sebagian orang mengatakan "lupakan saja"
Namun benak ku memaksa untuk bilang "tidak".
Aku kembali menemui tempat dimana nama itu ada.
Berharap itu benar-benar kau.
Melihat dari ujung kaki sampai dengan kepala.
Dan benar saja tidak ada kemiripan yang aku temui selain pada dirimu.
Terkadang kecewa memang datang dari diri sendiri.
Terlalu berharap dan berkhayal.
Tapi pada dirimu kekecewaan selalu mengasyikan untuk ku.
Entah datang dan hilang atau rindu yang terus membunuhku.

Jumat, 29 September 2023

(Telah) TERBIT



Ini lah waktu yang kami tunggu-tunggu lamanya, 18 tahun pernikahan yang kosong pada akhirnya tuhan memberi kepercayaan kepada kami. Malaikat kecil hidup di rahim seorang ibu sederhana sepertiku dan merubah segalanya. 


Pagi itu seperti biasa aku melakukan aktifitas sebagai ibu rumah tangga dan suamiku sudah pergi bekerja pagi buta sekali, dia bekerja sebagai satpam di sebuah perumahan elit di tengah kota. 

Rumah kecil dan sempit ini terasa sangat membosankan bagiku terkadang membuatku jenuh berada di dalamnya, tapi aku suka ketika berada di teras rumah sembari melihat tumbuhan segar di halaman. Setiap sore aku selalu duduk disana dengan menyeduh teh panas kesukaan ku sambil menunggu suamiku pulang. Bagaimana tidak, sudah bertahun-tahun lamanya kami berumah tangga namun belum juga mendapat momongan. Berbagai cara telah kami lakukan mulai dari pengobatan herbal, program hamil, hingga terapi kandungan. 

Kami sempat cek kesuburan waktu itu dan hasil nya normal aku dan suamiku tidak ada penyakit apapun, tapi tuhan belum mengizinkan. Berbagai cemoohan menjadi makanan sehari-hari, melihat kawan sebayaku sudah mempunyai 2 anak kadang juga membuatku iri tak jarang aku menyalahkan diriku sendiri entah aku yang tidak beruntung atau memang aku telah mendapat kutukan.

Suamiku adalah orang paling sabar yang pernah aku kenal, jika aku tidak bersamanya mungkin aku akan mengakhiri hidup ini dari dulu. Aku tak cukup sabar untuk mendengar perkataan orang-orang itu. Setiap hari ia lah yang selalu memberi aku semangat agar terus berusaha dan berdoa serta yakin bahwa nanti akan hadir buah hati yang akan menghapus rasa lelah ini. 

Malam itu udara sedikit berbeda, kami yang berada di depan tv seperti merasa ada yang aneh tidak biasanya, terutama aku. Badan ku merasa sangat lemas dan merasa mual mungkin saja aku magh waktu itu, aku memang menderita magh dari kecil karena nafsu makan ku yang tidak stabil.

Suamiku lantas bergegas mengambilkan ku air hangat dan memberikannya padaku, lantas aku segera beristirahat di kamar dan meninggalkan film favoritku.

Berhari-hari keadaan ku tak kunjung membaik, suamiku terpaksa mengambil cuti untuk menemaniku dirumah. Beberapa kali ia membujuku untuk pergi ke rumah sakit memeriksakan keadaanku, namun aku menolak karena aku tidak mau meminum obat-obatan itu apa lagi harus menginap dirumah sakit. Aku tetap memaksa untuk beristirahat saja dirumah sampai sembuh.

Sore itu tiba-tiba orang tua ku datang kerumah, sedikit kaget rasanya karena mereka memang sangat anti kerumahku, terakhir mereka datang 2 tahun yang lalu itupun karena ingin melihat kondisi rumahku yang hampir roboh terkena gempa.

Mereka yang sudah duduk bersantai di ruang tamu tak lupa aku suguhkan minuman dan beberapa cemilan untuk pembuka obrolan hari itu. Masih sangat penasaran angin apa yang mampu membawa mereka kemari.

Beberapa obrolan basa basi diantara kita cukup hangat terdengar, sayangnya suamiku waktu itu tidak ada dirumah karena ada tugas mendesak. Tak lama kemudian seperti biasa orang tuaku selalu bertanya tentang kapan aku akan mempunyai momongan, sebenarnya wajar saja jika mereka mengidamkan seorang cucu karena mereka juga sudah sangat tua.

Aku yang sedikit geram mencoba untuk meredam emosi, karena tak sekali dua kali mereka bertanya seperti itu dan akhirnya selalu mengomeliku. Aku mencoba mengalihkan pembicaraan dengan mengajak mereka menonton tv, tak beberapa lama perut ku mulai mual lagi dan kali ini lebih hebat dari biasanya. Mata kedua orang tuaku sontak menatap tajam kearahku seakan menerka-nerka keadaan ku waktu itu, namun aku menjelaskan bahwa ini hanya magh karena aku telat makan saja. 

Aku yang bergegas pergi ke kamar mandi sekejap keadaan terasa hening, aku rasa sakit ini semakin parah memang seharusnya aku mengikuti saran dari suamiku untuk pergi ke rumah sakit.

Beberapa menit kemudian aku kembali ke ruang tv untuk menemani orang tuaku, tidak enak jika aku meninggalkan mereka terlalu lama. 

Suasana tiba-tiba menjadi canggung dan ibu tak henti-henti menanyakan keadaanku waktu itu, seketika sontak ibu menawarkan ku untuk tes kehamilan entah apa yang mereka pikirkan seakan-akan insting mereka sangat yakin jika aku telah hamil.

Aku yang berulang kali kecewa karena hasilnya selalu negatif berusaha untuk tidak positif thinking dan mengabaikan tawaran itu. Menjelang malam mereka memutuskan untuk pulang dan beberapa jam kemudian suamiku pulang dari tempat kerjanya.

Aku yang menunggunya dari tadi langsung menceritakan kejadian hari itu dan tanggapan suamiku ternyata cukup mencengangkan, ia juga menyuruhku untuk tes kehamilan siapa tau kali ini takdir benar-benar berpihak pada kami. Akhirnya aku mulai termakan bujuk rayu suamiku untuk melakukan tes kehamilan.

Keseokan harinya aku pergi ke apotek di seberang jalan untuk membeli testpack berharap kali ini bukan kegagalan lagi. 

Hari itu suamiku libur bekerja dan ia ingin sekali menyaksikan hasil dari tes kehamilan ku kali ini karena sering kali ia disibukan oleh pekerjaan nya dan mengacuhkan ku.

Aku yang sudah berada di dalam kamar mandi tak henti-henti mengucap doa dengan hati yang berdebar-debar. 

Jika hari ini adalah keberuntunganku aku akan merawat nya dengan sepenuh hati bahkan aku rela menukar nyawaku sekalipun, namu jika ini kesekian kalinya kami gagal maka aku minta kebahagian dan rasa syukur yang lebih banyak lagi untuk kami berdua meskipun tanpa keturunan.

Beberapa menit kemudian setelah selesai aku mencoba membuka mata dari mata yang sengaja aku tutup.

Mataku yang menatap kebenda itu sontak melotot kearahnya, mengangkat hingga mengayun-ayunkan nya ke arah lampu berharap aku salah melihat atau mungkin ini hanya mimpi.

Aku yang terkejut langsung berlari kearah suamiku dan menunjukan hasil tes tersebut yang ternyata hasilnya positif. 

Benar saja hari ini mungkin tuhan telah menunjukan kuasanya dan memberi hadiah atas kesabaran kami selama ini. Suamiku yang tak henti-hentinya memeluk ku dengan rasa syukur menjadi hal yang paling aku tunggu-tunggu selama ini. Aku yang tidak menyangka ingin rasanya aku memberi tau ke seluruh dunia bahwa setelah ini akan ada malaikat kecil yang hidup di antara kami.

Hari berganti hari sangat lah menyenangkan untuk ku kebaikan demi kebaikan seakan menyertai hari-hari kami.

Tidak lupa aku mengabari keluargaku tentang kabar bahagia ini dan aku yakin mereka pasti akan bahagia sepertiku. 

Tak terasa bulan semakin cepat berganti nikmatnya tubuh menggendut, perut mulai buncit, nafsu makan berubah-ubah dan kaki yang terasa bengkak sangat aku nikmati.

Suamiku yang selalu menjadi garda terdepan selalu menjaga ku dan janin ku dengan baik, orang tuaku yang mulai mendukung dan menyayangiku serta orang-orang yang tak lagi mengoceh seperti surga dunia bagiku.

Beberapa bulan kemudian tepat diusia kehamilan yang mendekati persalinan aku dan suamiku berencana untuk pergi kerumah orang tuaku, aku ingin sekali persalinan ku tak jauh dari mereka dan aku juga bermaksud untuk meminta doa agar di beri kelancaran dalam persalinanku nanti.

Detik-detik persalinanpun tiba aku beserta keluarga besar bergegas ke rumah sakit terdekat dan menyiapkan beberapa barang untuk dibawa kesana. 

Aku yang mulai gelisah sembari melawan rasa kontraksi yang hebat berharap bisa selamat dari persalinan ini. Tak selang beberapa lama anak pertama kami pun lahir berkelamin laki-laki dengan suara keras percis seperti ayahnya. 

Pertama kali aku mendengar suara paling merdu suara tangisan anak ku yang 18 tahun sudah kami nantikan, banyak perjuangan yang telah kami lewati hingga lika liku pahit getir omongan yang kurang enak di dengar tentang aku yang tak kunjung mengandung. 

Rasa syukur bagaikan air yang tak ada habisnya terucap dari sekian banyak bibir keluargaku. Kali ini gelar terhebat telah aku capai dan aku juga berikan kepada suamiku, tanggung jawab yang lebih besar lagi siap kita tanggung bersama. 

Sebuah titipan dan karunia terhebat yang tuhan kasih kepada kami, seorang anak yang lucu penghibur lara pembawa bahagia semoga menjadi kebanggaan dan semangat hidup baru untuk ku, seorang ibu sederhana yang pernah berjuang susah payah mendapatkan nya.






Kamis, 17 November 2022

BUNGA TERAKHIR


Kata orang pernikahan itu sumber bahagia dan katanya pernikahan itu sebagai pelengkap hidup kita yang kosong di masa lalu. Katanya meskipun kita sudah menikah kita masih bisa berkarya, bekerja maupun sekedar bersenang-senang dengan kawan lama, sebagian mempercayai itu namun sebagian tidak.

Menikah itu sebuah pilihan, baik atau tidak adalah resiko. Kejujuran dalam pernikahan adalah kunci dan kesiapan mental adalah gerbang, namun sampai sekarang perceraian masih dijadikan jalan keluar atas pondasi yang mereka bangun entah karna ada kekerasan di dalam nya atau sesuatu yang memang di luar ekspektasi kita.

Aku Sandrina, wanita 21 tahun yang sudah menikah 3 tahun lalu dan sekarang sudah memiliki 1 orang malaikat kecil, hanya itu yang aku punya. Aku memutuskan tidak melanjutkan pendidikan dan memutuskan untuk menikah dini dengan kekasih yang usianya jauh lebih dewasa dariku yang aku cintai pada waktu itu,  aku kira semuanya akan berjalan sesuai alurnya dan sebahagia rumah tangga orang lain. Aku melihat beberapa orang bahagia dengan keluarga kecilnya, mempunyai anak yang lucu, rumah yang sederhana, kegiatan-kegiatan yang menyenangkan sebagai seorang ibu dan masih banyak lainnya.

Orang tuaku bahagia saat itu, aku melihat banyak harapan dimata mereka dan banyak pelukan yang menyertai. Ada filosofi mengatakan, jika kau sudah menemukannya maka menikahlah, karena tua sendirian itu menyedihkan.

Tahun pertama aku dan suamiku memutuskan untuk pisah rumah dengan orang tuaku, kami memutuskan untuk membeli rumah di sebuah perumahan yang tak jauh dari rumah , agar jika orang tuaku ingin menengok kami mereka tidak perlu jauh-jauh keluar kota.

Semua berjalan dengan menyenangkan, pekerjaan suamiku juga semakin lancar kami berdua sangat mensyukuri pernikahan ini.

Tahun kedua aku diberi anugerah dan kepercayaan dari Tuhan sebuah kehidupan baru muncul diperutku, keluarga besar kami sangat bahagia dan kami pun merayakan peristiwa itu. Hingga akhirnya anak pertama kami lahir, malaikat kecil bermata bulat mempunyai pipi merah persis seperti ayahnya.

Betapa bahagia mempunyai suami yang sangat sayang kepadaku dan seorang anak yang sangat menggemaskan, ucapan demi ucapan dari orang terdekat turut melengkapi. Namun setelah aku mempunyai anak suamiku melarangku untuk bekerja dan mengurangi aktifitas diluar rumah, ya mungkin saja agar aku lebih fokus menjaga anak ketika ia tidak ada dirumah.

Tahun ketiga tepat 1 tahun anak kami lahir, kami berencana merayakan nya di suatu villa di puncak dengan beberapa keluarga besar.

Ketika persiapan telah matang kami pun segera melangsungkan acara tersebut, tidak kuduga sahabat dekatku (Irina) yang lama tidak ada kabar tiba-tiba hadir di acara ulang tahun anak ku.

Sedikit rasa aneh dan banyak pertanyaan, namun aku tetap menyapanya penuh rasa hangat mungkin saja ini adalah surprise kecil untukku dari suamiku karena dia tau aku dan Irina sudah berteman cukup lama.

Tidak lama kemudian terlihat sosok anak kecil berlari menghampiri Irina dan memanggilnya mama, betapa senang aku melihat Irina ternyata dia juga sudah mempunyai seorang anak. Aku dan Irina memang menikah dini jarak pernikahan kami juga tidak jauh, setelah beberapa bulan Irina menikah barulah aku menikah namun aku tidak tau sama sekali dia menikah dimana dan seperti apa suminya, kami sudah jarang berkomunikasi waktu itu.

Akupun segera memanggil suamiku untuk mengucapkan banyak terimakasih sudah mempertemukan aku dengan sahabatku, namun seketika raut wajah suamiku tiba-tiba berubah tidak ada senyuman bahkan sepatah katapun tak terucap.

Tak selang  beberapa lama anak Irina menghampiri suamiku dan merangkulnya seperti seorang anak yang memeluk bapaknya. Aku masih mencoba berfikir positif waktu itu meskipun semua tamu menatap kami bertiga dengan tatapan aneh, aku mencoba bertanya pada Irina apakah dia kesini bersama suaminya?, namun tidak ada jawaban malah sorot mata Irina langsung menatap ke arah sumiku.

Aku semakin kikuk saat itu semakin merasa banyak keganjalan, pada saat anak Irina memanggil suamiku dengan sebutan ayah barulah aku paham. Aku menangis sejadi-jadinya membawa putriku masuk kedalam kamar, tidak ada penjelasan apapun yang bisa aku terima saat itu hanya kekecewan dan trauma yang mendalam. Aku hanya mendengar ketukan pintu berulang kali menyuruhku untuk keluar mendengarkan banyak omong kosong dan tipuan. 

Bagaimana bisa suamiku yang sangat aku percaya yang sangat bertanggung jawab atas keluarganya, menikah lebih dulu dengan sahabatku dan lebih dulu mempunyai anak darinya.

Malam itu terasa seperti mimpi buruk di pernikahanku sendiri, bangunan yang kami bangun dengan susah payah hancur dalam satu malam. Keluargaku sangat kecewa, mencoba menenangkan ku setiap hari.

Seminggu berlalu kami sudah pisah rumah dan anakku bersamaku, aku melayangkan gugatan cerai ke pengadilan bersama orang tuaku. Rasa  kecewa masih ada, aku berharap ini keputusan yang terbaik dan aku berharap hak asuh anakku jatuh kepada ku.

Beberapa bulan lamanya aku pun dan mantan suamiku mendapat panggilan ke pengadilan untuk menerima keputusan terakhir, setelah palu di ketuk akhirnya hak asuh anak jatuh kepadaku dan sekarang kami resmi bercerai menjalani kehidupan sendiri-sendiri dengan pilihan masing-masing.


 


Senin, 31 Oktober 2022

Dikala Redah

                               Swara d'jiwa


    Diruangan ini rindu mulai menguap, di sela-sela hujan yang mulai meredah meredup pula segala bayangan kosong. Disetiap langkah ini kami mencoba untuk melawan setiap keraguan, percayalah akan selalu ada tenang disetiap hujan yang mulai redah.

    Diantara murka dan keegoisan mungkinkah kita ada kesempatan ucapkan janji? mata yang enggan menatap dan hati yang semakin lama enggan menetap, seakan mulai menghilang meresap ke inti bumi bersamaan dengan rintik hujan yang semakin hilang.

    Aku mengundangmu makan malam di suatu caffe malam itu, memakai baju biru persis seperti pertama kali aku menemui mu berharap warna biru menghapus segala rasa kelabu diantara kita. Wajahmu masih cantik seperti biasanya hanya saja hati kita tak sederas waktu lalu, obrolan-obrolan yang kita bicarakan malam itu aku tak ingin melewatkan nya walau sedetik saja.

    Rambutmu yang ikal waktu itu nampak lurus malam ini, apa selama itu kita tidak bertemu? entahlah, nampaknya bukan waktu yang membuat kita terlihat berbeda namun keegoisan yang membuat kita enggan untuk memuji.

    Langit cerah malam itu menandakan hujan yang tak akan datang, semoga setelah ini kita tak kembali asing. Aku ingin berdua saja dengan mu tanpa suara bising dari manusia lain atau gemuruh hatimu yang selalu saja ingin menampakan rasa cemburu.

     Aku menunggu dengan sabar di atas kepercayaan tentang kita menantikan waktu dimana tidak ada lagi keresahanmu. 

     Hujan telah redah tapi kita tetap saja saling menyalahkan, pertengkaran yang terjadi akan selalu menjadi bom waktu untuk kita kembali menjauh. Kepala yang semakin retak namun hati ingin tetap merekat memaksa kita untuk tetap diam di zona aman, dalam hubungan yang mengganggu dan aku yang selalu saja menyukaimu terlihat sangat bodoh diatas kepala yang aku pijak sendiri.

 Lihatlah, aku bahkan tak mengenali diriku sendiri.

     Disetiap ruangan yang menyimpanmu, aku berharap ada pelangi setelah hujan meskipun tak terang setidaknya ada sedikit warna yang menghiasi kita. 

     365 hari bukan waktu yang singkat untuk kita terus beradaptasi, membaca pikiran satu sama lain hingga menghafal warna kesukaan. Mungkin saja kita terlalu jenuh dengan kisah asmara yang begitu-begitu saja atau mungkin kita terlalu mendambakan kesempurnaan.

     Wahai hujan yang membasahi hati, jika rintikan itu suatu saat akan menghilang jangan biarkan kehampaan merasuk ke dalam jiwa biarkan keteduhan itu menjadi alasan untuk kita menemukan tempat ternyaman.




Kamis, 31 Maret 2022

Misteri 212





         Disebuah desa bernama desa Lowokwaru di kepulauan Jawa. Aku (Renata) dan suamiku (Bram) serta anak pertamaku (Ria) yang masih berusia 10 tahun kehidupan kami sangat harmonis awalnya, hingga aku dikaruniai anak ke 2 yang sekarang masih dalam kandungan. Kami hidup bahagia disana sebelum akhirnya kami menempati rumah peninggalan romo (eyang) dan kejadian-kejadian terkutuk itu pun dimulai...................................

 

Kami tinggal disuatu desa yang masih kental akan mitos dan tradisi kejawen,dan aku pun terlahir dari keluarga yang masih meyakini sesajen atau apapun yang berbau mistis namun sepertinya Bram tidak terlalu mempercayai itu karena di zaman yang maju seperti ini semua hal bisa dijelaskan secara logika tanpa adanya unsur mistis, pikirnya.

Setiap kami terbangun di pagi hari selalu banyak sesajen di setiap rumah warga dengan bau khasnya dan selalu ada taburan bunga di sepanjang jalan desa, konon katanya tradisi itu mampu mengusir roh jahat yang ada pada desa ini, serta mampu menjauhkan setiap kesialan. Setiap malam jumat pun selalu ada acara siraman bagi wanita hamil agar setiap wanita dan bayi yang ia kandung dijauhkan dari segala malapetaka. Aku sering kali mengikuti acara tersebut karena paksaan orang tuaku terutama romo (eyang) seseorang yang cukup terkenal didesa atas ilmu kejawen nya.

‘’nanti kamu jadi ikut acara siraman lagi?’’ tanya Bram

‘’iya mas, mau gimana lagi sudah tradisi’’ jawabku sambil memasak untuk sarapan pagi ini.

‘’jujur aku gak percaya hal bodoh seperti itu, malah buang-buang waktu kita saja’’ ujar Bram dengan raut wajah kesal.

‘’ ya gimana lagi mas, aku juga gak bisa nolak permintaan bapak dan ibuk apalagi mas tau sendiri romo tradisinya kental banget gitu’’ jawabku.

Wajar saja Bram sangat menentang hal seperti itu karena dia terlahir dikota dengan kepribadian dan culture yang sangat berbeda dengan aku dan keluargaku, namun dia selalu mencoba menerima setiap keputusan ataupun tradisi yang kami  jalani itulah yang membuatku sangat mencintainya.

Keesokan harinya tiba-tiba ibuk dan bapak datang kerumah bersama romo, awalnya aku tidak tau apa maksut dan tujuan mereka datang kemari.

‘’ loh ibu sama bapak kenapa gak ngmong dulu kalau mau kerumah, kan Renata bisa siapin makanan’’ ujarku sambil mempersilahkan masuk.

‘’halah seperti siapa saja nduk, ibuk sama bapakmu cuman kangen saja sama kalian berdua’’ jawab ibuk sambil tersenyum

Kami pun lanjut bercengkerama diruang tamu, tiba-tiba di sela obrolan romo memotong pembicaraan kami.

‘’nduk.. le.. (panggilan anak perempuan dan laki-laki dalam bahasa jawa) ini kan rumah yang kalian tinggali sudah sangat kumuh dan tidak layak huni ada baiknya kalian pindah rumah saja atau mengontrak setidaknya, romo takut nanti ketika musim hujan rumah ini bisa roboh’’ kata romo.

Seketika aku dan Bram saling menatap seakan kita mempunyai pikiran yang sama, memang rumah ini sudah sangat rusuh namun kami juga tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli rumah baru.

‘’begini romo, bukan nya Bram dan Renata tidak mau tapi tabungan kami masih belum cukup untuk membeli rumah’’ jawab Bram yang sepertinya dia juga ragu ingin mengucapkan itu

‘’romo punya rumah yang sudah lama tidak ditinggali di ujung desa nomor 212 karena rumah itu cukup besar dan romo juga tidak sanggup membersihkan nya setiap hari, jadi romo biarkan saja kalian bisa menempatinya sesuka kalian rumah itu masih sangat bagus dan banyak peninggalan si mbokmu’’ ujar romo sambil terus membujuk kami.

Selang beberapa waktu aku dan Bram akhirnya setuju untuk menempati rumah itu tanpa berfikir panjang.

Keesokan harinya aku,Bram dan Ria segera membereskan segala barang,

‘’buk kita mau pindah rumah lagi ya?” kata Ria anakaku

‘’ iya nduk, kerumah romo yang lama’’ jawabku sambil memeberi sedikit senyuman.

Jarak rumah itu dan tempat tinggal kami yang sekarang tidak terlalu jauh, mungkin sekitar 15 menit perjalanan. Sesampainya disana kami bertiga saling melihat sekeliling rumah tersebut, benar saja rumah itu terlihat lama tidak dihuni banyak akar pohon merambat di pagar rumah hingga beberapa pohon besar seakan mengelilingi rumah itu. Seketika tatapan ku tertuju pada pohon beringin lengkap dengan ayunan kayu dibawahnya, aku tidak mengerti mengapa aku terus menatap kearah ayunan itu seakan ada yang ingin menarikku kesana.

Kami bertigapun mulai masuk kedalam bangunan itu, tidak seburuk yang kami pikirkan keadaan di dalam nya masih bagus lengkap dengan lukisan tua dan berbagai perabotan lainnya yang masih tertutup rapi dengan kain putih. Seperti biasa romo memang suka mengoleksi barang antik di setiap sudut rumah dan aku tidak berani memindahkan apa yang sudah terpasang.

‘’kita mau mulai bersih-bersih kapan?” tanya Bram

“hari ini juga” jawabku sambil tersenyum.

Awal nya aku mengira semua akan baik-baik saja dengan rumah ini, namun tidak ketika suatu saat kami mendapat kabar bahwa romo mengalami serangan jantung yang mengakibatkan nyawanya terenggut, kami sangat merasa kehilangan waktu itu.

Selang beberapa minggu Bram memutuskan untuk merombak segala isi dari rumah peninggalan romo itu, kami sempat bertengkar hebat waktu itu karena aku tidak setuju jika rumah itu rombak karena pamali kata orang jawa, aku takut sesuatu hal terjadi kepada kami bertiga.

Pagi itu aku terbagun dari tidur ku dan melihat seisi rumah sudah tidak  terletak pada tempat semulanya dan kendi bertutupkan kain merah dibawah lukisan jawa juga ikut berpindah tempat.

‘’mas...mas..!! kok rumah nya jadi gini sih mas, kendi disini dimana dan guci-guci romo semuanya mas pindahin kemana?” teriakku sambil terus mencari-cari.

‘’apasih ren, gucinya mas taruh digudang sama lukisan aneh itu, mas yang pindah tadi malam waktu kamu tidur dan kendi itu mas sengaja buang karena didalam nya ada bangkai tikus jadi aku buang saja..’’ Jawab Bram sambil membawa segelas kopi dari dapur dan tidak merasa bersalah sama sekali.

‘’ha?? Gila kamu ya?’’jawabku dengan marah

Aku yang sontak mendengar hal itu terkejut dan marah, karena romo pernah berpesan padaku sebelum kami pindah kerumah ini untuk tidak memindahkan apapun yang di dalamnya.

Mulai saat itu kejadian misterius mulai menerorku mulai dari ketukan pintu di malam hari, pecahan gelas didapur hingga suara alunan gamelan yang selalu terdengan di ruang bawah tanah.

Kejadian itu semakin menjadi-jadi ketika Ria anak ku sering mengalami kesurupan ketika ia bermain di ayunan dihalaman rumah.

‘’mas  aku merasa ada yang aneh dirumah ini’’ kataku sambil ketakutan

‘’aneh apa sih ren, aku tidak merasakan apa-apa’’ jawa Bram yang selalu menyepelekan keluhan ku

Pada saat itu tiba-tiba aku terbangun jam 1 pagi dini hari, karena merasa haus lalu aku beranjak pergi ke dapur. Pada saat aku mengambil gelas, aku melihat sebuah tangan tanpa tubuh berlumuran darah keluar dari sela-sela meja dapur sontak saja aku berteriak dan berlari menuju kamar ,semakin aku berlari aku mendengar cekikan tawa seorang anak kecil yang semakin lama semakin mendekat di telingaku.

Saat aku menceritakan kejadian itu ataupun segala mimpi buruk yang aku alami Bram selalu saja menganggap bahwa aku berhalusinasi.

Sampai suatu hari pukul 17.00 wib , Bram pulang kerja dan seperti biasa selalu minta dibuatkan segelas kopi panas.

“Ria kemana? Apa dia dikamar aku belum melihatnya dari tadi’’ tanya Bram

Seketika aku juga baru teringat kalau dari tadi siang aku tidak melihat Ria di ruang tamu bahkan dikamarnya,

‘’ aku fikir dia sedang bermain ayunan dihalaman, kamu tidak melihatnya tadi?’ tanyaku.

‘’ tidak, tidak ada siapa-siapa diluar’’

Kami pun bergegas keluar dan mencari Ria di halaman dan segala ruangan dirumah, namun tidak kunjung ketemu, kamipun sangat kuatir saat itu dan mencoba  untuk melporkan kejadian kehilangan kepada polisi. Tidur kami sangat tidak nyenyak memikirkan Ria.

Seperti biasa ketukan pintu itu selalu mengganggu ku di setiap malam, namun aneh nya hanya aku yang bisa mendengar.

Keesokan pagi aku mendengar suara Ria dari arah gudang bawah tanah memanggilku, awalnya suara itu seperti memanggil namun lama kelamaan menjadi suara wanita dewasa dengan kalimat "Kowe Kabeh ngundang kematianmu Dewe" (kalian semualah yang mengundang kematianmu sendiri) suara itu terus berbisik makan lebih keras dan lebih keras lagi.

Akupun berlari menuju Bram, aku merasa kejanggalan ini tidak bisa didiamkan lagi. Aku dan Pram berniat memanggil orang pintar yang ada di desaku untuk membantu kami menemukan Ria.

Aku meminta tolong Mbah Joyo salah satu orang pintar terkenal di desaku setelah Romo untuk membantu kami. Beliau datang membawa segala peralatan yang ia butuhkan untuk mengusir roh jahat dan membawa kembali ria.

"Mbah tolong kami, kami tidak tahu harus berbuat apalagi anak kami tiba-tiba menghilang dan sosok itu seakan ingin membunuh kami secara perlahan" ucapku kepada Mbah Joyo.

Setelah bermeditasi dan berusaha keras akhirnya kami bertiga duduk sebentar untuk berbicara tentang kejanggalan-kejanggalan di rumah kami.

"Apa yang sudah kalian perbuat?" kata Mbah Joyo yang tiba-tiba seakan mengetahui semuanya.

Lalu aku pun mulai menceritakan semuanya mulai dari kepindahan kami ke rumah ini, perombakan seisi rumah yang dilakukan oleh Bram hingga kejadian-kejadian yang aku alami.

Setelah kami berbicara cukup lama Mbah Joyo memutuskan untuk kembali lagi besok dengan membawa beberapa syarat untuk mengusir roh jahat itu.

Malam pun tiba aku kembali mendengar ria berteriak-teriak memanggil ku, suara itu sekarang terdengar di belakang rumah tepat di ayunan yang sering kali dimainkan oleh ria.

Saat aku mendengar suara itu aku melihat Bram sudah tidak ada di samping tempat tidurku, lalu ketika aku mendengar suara ria semakin jelas aku mengintipnya dari balik jendela dan aku melihat Bram sedang menggali sesuatu di dekat ayunan itu.

Aku pun bingung apa yang dilakukan Bram saat itu karena sudah larut malam sekali. Lalu aku menghampiri nya, saat langkahku mulai dekat dan aku berdiri di belakangnya aku pun menepuk pundak kiri Bram

"Mas kamu sedang apa malam-malam gini kok berkebun?"kataku dengan suara lirih

Beberapa kali aku mencoba untuk bertanya kepadanya tapi tidak satupun pertanyaanku dijawab oleh Bram. Sontak saja aku kesal dan memberanikan diri melihat apa yang sebenarnya Bram kubur. 

Dan aku sangat terkejut ternyata yang dia kubur adalah ria anak kami sendiri, dan sangat terlihat saat itu ria sudah tidak bernyawa lantas aku langsung memukul dan berteriak-teriak kepada Bram mengapa ia tega melakukan itu namun tidak ada sahutan sedikitpun bahkan tatapan Bram saat itu kosong tidak ada ekspresi apapun.

"Bram hentikan itu anakmu sendiri ria yang selama ini kita cari kamu tega membunuh nya gila kamu mas....."kataku sambil terus memukul dan menangis tak henti henti.

Seketika Bram jatuh pingsan di hadapanku dan aku terus menggali gali jasad dari ria. Aku yang menangis sejadi-jadinya meratapi kepergian anakku.

Berhari-hari aku seperti orang gila tidak makan ataupun minum aku hanya menangis didalam kamar memandangi segala foto anaku Ria dan anak yang ada di dalam kandunganku yang kian membesar.

Dan semenjak itu pula Bram suamiku jatuh sakit, dia tidak bisa bicara dan tidak bisa berjalan. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi beberapa kali aku mencoba membawa Bram ke rumah sakit namun kata dokter sarafnya baik-baik saja namun dia tidak bisa bicara sama sekali dan bergerak seperti menderita kelumpuhan.

Kekacauan tidak berhenti sampai disitu, setiap malam aku selalu melihat bercak darah di setiap ruang tamu bahkan cap telapak tangan anak kecil di setiap tembok dapur. 

Sore hari itu aku pulang dari pasar tiba-tiba aku melihat suamiku Bram berdiri di pintu dapur, aku sangat terkejut karena yang aku tahu dia sedang sakit jangan pun untuk berdiri untuk bergerak meluruskan kaki saja dia tidak bisa, ini sangat aneh.

Saat aku menatapnya tiba-tiba dia bergerak membalikan badannya ke arahku, matanya hitam bibirnya pucat dengan ekspresi muka yang sangat menyeramkan. Di tangan kanannya memegang pisau yang sudah berlumuran darah dan tangan yang satunya sudah banyak bekas sayatan dari pisau yang dia bawa.

Akupun terkejut lantas aku teriak kepada Bram agar dia sadar, semakin aku berteriak dia semakin mengeluarkan cekikan tawa yang mengerikan. Semakin lama ia mendekatiku aku pun semakin takut, aku takut dia akan membunuhku dengan pisau yang dia bawa dan benar saja dia mulai mengangkat pisau itu ke arahku lalu akupun berlari ke arah keluar meminta tolong kepada semua orang tapi tidak satupun mendengarku.

Aku pun terus berlari ke rumah ibu dan bapak menceritakan kejadian yang terjadi. Awalnya mereka tidak percaya namun setelah aku jelaskan dari awal akhirnya ibu dan bapak mau membantu aku untuk mengusir roh iblis itu.

"Nduk ini semua terjadi karena kalian tidak menuruti apa pesan Romo, rumah itu bukan sembarang rumah. Rumah itu adalah petuah yang dulu pemilik pertama dari rumah itu adalah penganut ilmu hitam yang dibakar massa oleh orang kampung dan arwahnya sempat bergentayangan di desa ini namun Romo mu sudah mengunci roh iblis itu ke dalam kendi yang kalian buang, sekarang roh itu bebas lagi dan mengincar nyawa setiap penghuninya" kata ibu mencoba membenarkan kejadian yang aku alami.

"Lalu Renata harus bagaimana Bu? Renata sudah kehilangan Ria, Renata tidak mau kehilangan mas Bram Bu" kataku sambil terus memohon agar ibu mau membantuku.

"Kalian berdua harus melakukan ritual kedusan dimana ritual itu adalah ritual pengampunan atas kesalahan kalian serta penguncian atas roh iblis itu" ujan ibuku.

Sejujurnya aku tidak pernah tau ritual macam apa itu, namun apapun yang terjadi aku akan tetap melakukan ritual itu agar roh iblis tidak lagi mengganggu keluargaku.

Keesokan harinya aku beserta orang tuaku pergi ke rumah itu. Lalu aku membangunkan Bram dan mengajaknya untuk melakukan ritual kedusan.

Ritual itu berjalan tidaklah mudah berbagai gangguan yang terjadi mulai dari angin yang tiba-tiba berhembus kencang ke arah rumah kami hingga hujan dan sambaran petir dimana-mana dan segerombolan kelelawar yang tiba-tiba masuk ke rumah kami entah dari mana.

Ibuku sendirilah yang memimpin ritual itu aku berharap tidak ada hal buruk yang terjadi.

Waktu ritual itu berjalan tiba-tiba mas Bram kesurupan, bapak mencoba memeganginya dan membacakan beberapa mantra serta mengikat kedua tangannya dengan tali berwarna merah.

Keadaan itu semakin parah ketika tiba-tiba perut ku merasa sangat sakit hingga keluar darah di mana-mana aku merasakan sangat nyeri di perut ku aku takut jika ada sesuatu yang terjadi dengan kandungan ku.

"Tahan ya nduk, kalian harus lewati ritual ini sampai selesai jika tidak semua akan mati disini"kata ibuku sambil sambil terus melakukan ritual itu.

"Perutku sakit sekali Bu, seperti ada yang mencakar cakar perutku dari dalam" kataku sambil terus menangis.

Aku tak kuasa rasa sakit itu semakin lama membuatku ingin mati saja namun aku terus mencoba bertahan hingga ritual ini selesai.

Saat ibu membacakan mantra dan doa-doa seketika ibu mengeluarkan satu kendi yang sama persis dengan kendi Romo yang telah dibuang mas Bram. Setelah kejadian menegangkan itu terjadi jika tiba suasana menjadi hening dan mas Bram sadar kembali .

"Alhamdulillah roh iblis itu berhasil ibu kunci, biarlah kendi ini tetap di rumah ini jangan kalian berani memindahkan atau membuang kendi ini lagi atau kalian yang akan menanggung akibatnya"kata ibuku.

Aku yang sudah sekarat karena pendarahan pada perutku mereka segera melarikan aku ke rumah sakit terdekat. Akhirnya aku melakukan persalinan detik itu juga yang sebenarnya belum waktunya aku melahirkan.

Keesokan harinya setelah aku melakukan persalinan aku melihat bayi kita tumbuh dengan cantik dan aku mulai lega bisa melihat mas Bram, ibu dan bapak tanpa rasa khawatir lagi.

Waktu kepulangan kami dari rumah sakit Aku dan mas Bram memutuskan untuk mengontrak saja dan tidak menempati rumah peninggalan Romo lagi. Biarlah rumah itu kosong dengan ceritanya kami tidak ingin mengambil resiko apapun karena kehilangan anak kami Ria itu sudah menjadi hal terburuk yang kami sesali seumur hidup.



Senin, 14 Maret 2022

Retak Berserakan

 Swara djiwa`

Tunggulah!! Kedai ini sengaja kupesan penuh untuk merayakan pesta kehilanganmu



Aku masih ingat rintikan hujan dibulan april, aroma daun gugur serasa tidak asing di indera penciumanku dan suara bisingnya merayuku untuk tetap tinggal. Tidak ada yang paling aku suka selain gemericik air pertanda kau sudah kembali, percayalah tidak akan ada rahasia setelah ini. Terhapusnya setiap jejak-jejak langkah kaki dipersimpangan menciptakan keraguan atas jalan yang kau lewati.
Kita bertemu kembali pada titik nol dari waktu yang sempat memuai, memang terlanjur usang bahkan sudah sangat berdebu. Kita hanya duduk berdua saja, aku memesan segelas kerinduan dengan senyuman manis sebagai pelengkap, ntah kau memesan apa. Aku memesan semangkuk topik sebagai hidangan pembuka agar pembicaraan kita tak lagi sedingin rintik hujan diluar jendela.
Kita duduk diantara bola mata yang pernah saling menatap, diantara bibir yang pernah saling menyapa ,menertawakan hidup menertawakan fatamorgana. Aku memesan kopi kesukaan mu, tenanglah kopi ini tak akan sepahit kita. Aku menjanjikan kenyamaan  malam ini, tak akan aku memesan rasa sakit yang mungkin sangat menggema ditelingaku. Duduklah, hanya ada aku dan kau malam ini.
Ditempat ini,ditempat pertama kali kita bertemu, ditempat dimana semua mimpi-mimpi kita belum berhasil kita wujudkan kau memilih berpindah hati. Sudahkah kau lapar? bolehkah aku memesankan sesuatu untukmu? Akan ku pesankan sebuah pesan yang sengaja kau letak kan dibawah pintu rumahku bertuliskan namamu dan seseorang, tentu saja bukan aku.
Aduklah, kau boleh menyeduh minuman mu sebanyak yang kau mau. Namun setelah lampu-lampu ini dipadamkan kau akan menjadi satu-satunya keterangan. Kau yang meminum aku yang menelan rasa sakit. Tak apa aku menyukainya.
Sementara itu aku masih terus menatapmu, adakah rasa bersalah atau sedikit patahan? atau memang sengaja tidak kau tumbuhkan. Rasa yang hanya tinggal serpihan tulang mulai terasa nyeri dibagian dada kananku.
Lihat.....langit semakin gelap, memadamkan bekas jejak-jejak kaki menyekap setiap peluhnya.
Santailah sejenak, malam ini masih sangat panjang. Disini ditempat yang sengaja aku hindari, aku pernah berdiri menyapa kerinduan, membalut kehilangan, menggores setiap kata yang pernah kau ucapkan.
Disetiap ukiran kursi yang kau duduki, aku mengisahkan keikhlasan dikepasrahan. Diangka-angka meja itu masih terpapar nyata bagaimana kita berbincang ria  pada keharmonisan. Retak berserakan, kusut kusam, tercabik rasa sepi, hilang diantara pekat aroma kopi.
Dipeluk ini, dipeluk yang pernah kau lewati kau menyapa sebagai satu-satunya kerinduan. Pada dinginnya malam aku masih sendiri. Mendengarkan alunan pesta pernikahanmu, lengkap dengan gaun putih dan bunga di setiap sudutnya. Pada letupan ruang kekosongan kau kembali duduk sebagai satu-satunya kenangan. Aku sengaja membicarakan senyumu dikeindahan yang telah hilang, mengulang kembali setiap bait yang sempat kita rakit. Terinjak lara, terkoyah sepi, tercampur rasa pahit yang di seduh dengan rasa sakit.
Satu kisah yang kita upayakan, lenyap. Kau memutuskan pergi meninggalkan beribu rencana, merobek dengan keras, menyayat dengan pisau yang kau pinjam dari tangan seseorang yang kau anggap sebagai rumah. Pada setiap kata yang kau utarakan aku tak lagi percaya.
Aku mencarimu, sedangkan kau berpesta pora diatas gemerlap lampu. Itu yang kau sebut hidangan hanya sebagai pelengkap atas rasa ucap yang kau selimuti rasa pengkhianatan.
Dan kini satu-satunya yang tersisa hanya lukisan dari rasa hiruk pikuk yang kubuat sendiri. Aku memaafkanmu, dari segala bencana yang kau buat.
Ditempat ini kapanpun resah merasuk jiwamu, duduklah kau boleh pesan apapun yang kau mau, dengan kenangan manis sebagai pelengkap. Pesanlah sebelum kursi-kursi ini berhasil disingkiran, karena setelah kursi-kursi ini berhasil disingkirkan kau tak akan menemukan ku disetiap ukiran kerinduan.
Kubur sebagai luka paling dalam, hentikan segala keraguan kopi itu akan tetap hangat sekalipun dengan atau tanpa kau seduh.







Sabtu, 12 Maret 2022

Rangka lusuh

Swara djiwa`

Pesan itu tidak sampai! Barangkali kau lupa atau memang sengaja tidak kau kirim?



Aku ingat waktu pertama kali melihatmu. Kau datang tanpa permisi dengan senyum manis tepat bersamaan dengan senja datang.
Sejak detik itu pikiranku mulai penuh, sengaja berlarian di fikiranku siang hingga malam. Aku kira ini hal yang wajar sebab hati memang suka bermain-main pada setiap tokoh nya.
Aku tidak pernah menduga secarik kertas putih sampai kerumah, dengan warna biru manis pertanda hal yang baik. Konon katanya jika secarik kertas datang tiba-tiba tanpa kau sangka, akan ada kode bahagia di setiap kata yang kau terima. 
Yahh benar saja, sapaan demi sapaan tertulis dengan rapi. Aku tidak ingin berdrama dengan keadaan namun aku sangat tergila-gila dengan setiap pesan yang kau kirim, aku tidak tau tapi aku enggan bisa mengeluarkan mu dari isi kepalaku.
Entah lah perihal apa ini, bukan apa yang ada pada dirimu namun jika kau percaya, dengan mu aku merasa baik-baik saja (semoga kau juga).
Kau selalu mampu membuatku berkata jujur di setiap topik yang sengaja kita ketik, namun aku terlalu pelupa untuk ekspektasi yang sering kita baca.
Bukan nya sulit, tapi menduga-duga kau milik siapa adalah hal terlemahku, bukan nya tidak baik bergelut dengan ekspektasi? memaksa waktu berjalan sesuai keinginan mu.
Kita terlalu menikmati suasana di zona nyaman, berkecimpung hangat pada ruang tunggu, dan terlalu akrab dilubang pertemanan. Bagaimana bisa kita tetap tinggal pada rumah tanpa tiang, bukankah sewaktu-waktu bisa roboh dan hancur?
Otakku berpikir keras, mencoba meraba-raba jalan keluar menyisihkan waktu untuk menebak-nebak kata, kemana harus pergi. Membawa diri agar tidak terbuai terlalu dalam. Ketika langkahku mulai menemukan jalannya, sementara tanganmu seakan mencegahku ke mana-mana.
Tunggu, setelah pesan-pesan itu terkirim banyak ribuan kata yang harus kita jelaskan.
Lihatlah, itu hanya pesan. Rangkaian kata yang sengaja kau sematkan menjadi memori, tidak ada arti, guyonan kita semalam hanya sebagai pengantar tidur mu, kau terlelap dengan mimpimu sedangkan aku terbelenggu dengan cerita fiksi yang tidak sengaja kita rangkai. Kalimat demi kalimat memaksa kita untuk tetap tinggal.
Sesekali ikutlah denganku, ke dunia di mana kau akan percaya tanpa aku harus repot-repot menuliskan berbait bait puisi agar kau mengerti.
Di dunia khayalan mungkin kau akan menerimaku tanpa rasa sungkan. Tak apa kan jika sesekali aku sedikit memaksa?
Walau begitu, Aku tetaplah aku dan kamu ya kamu.
Jangan khawatir aku akan tetap menjadi temanmu, yang setia mendengarkan keluh kesah mu, mengusap setiap air matamu, menjadi mentari saat harimu mulai kelabu. 
Aku harap tidak ada air mata di pelupuk matamu, Aku harap bibirmu tak pernah mengering atas kata yang tak pernah terkirim ah.... Mungkin saja hanya aku.
Tak apa aku masih baik-baik saja sementara ini, masih mampu membalas semua pesan mu yang semakin singkat. Untuk badut sepertiku itu adalah hal biasa.
Kepalsuan hadir di antara aku dan kamu, mana berani Aku menginginkan cerita yang lebih daripada ini? Sosok sempurna sepertimu tidak pantas untuk seorang pemalas sepertiku. Bagaimana tidak? Aku sangat malas saat ingin menghapus pesan singkat di setiap kolom chat kita, malas berdebat dengan mu, dan malas untuk melupakanmu. Kurang ajar kah aku jika sewaktu-waktu memberikan bahuku untuk tempat menyandarkan kepala mu? Tanganku masih kosong jika kau butuh untuk menggenggam saat dunia mulai menenggelamkanmu. Tapi jika kau enggan aku pun juga tidak memaksa.
Bak orang dungu, seperti kebodohan yang sengaja aku tumbuhkan. Kata rindu yang tersirat membuat aku semakin berdarah-darah, namun tetap saja aku berharap kau akan membalasnya.
Aku tidak pernah tau di mana sebenarnya perasaanmu bermukim. Adakah rumah yang sudah kau tinggali ataukah masih menjelajahi tempat untuk kau singgahi. Mungkin sangat susah untuk kau cerna tapi bisakah kau buka sedikit bola matamu untuk melihat ku, bukankah aku cukup besar untuk terlihat olehmu?
Menyayangimu adalah suatu hal yang semu hal yang tidak bisa aku gapai dengan tangan kosong, perihal kau bahagia adalah keharusan entah denganku atau tidak, Aku harap tidak akan menjadi masalah bagiku. 
Aku harap kau selalu baik-baik saja, jangan risau atas diamku, aku hanya sedang bertengkar dengan isi kepala ku sendiri. Jangan terkejut aku sudah biasa berpura-pura tersenyum. Tugasku hanya menghiburmu dan menemanimu entah dengan siapa kau berlabuh. Hanya saja Aku sedikit kecewa karena bukan aku yang membuatmu benar-benar bahagia.
Kau yang aku kira tercipta sebaik-baiknya Tuhan menciptakan, pantas mendapatkan yang terbaik namun jika tidak, izinkan aku berusaha lebih keras lagi.
Bagaimana bisa orang membuatmu terluka, sedangkan aku mengacuhkan pesanmu saja aku tidak mampu. Selusuh itu memang aku.
Kita sama, terlalu pintar menyembunyikan perasaan atau terlalu bodoh untuk menyatakan. Entahlah kurasa begitu.
Saat pesanmu tak lagi hadir di kolom chat-ku aku mulai yakin mungkin tugasku telah usai. Tapi rasa khawatir ku mulai menggebu-gebu terkoyak pecah di bagian otak kiriku. Harusnya aku sudah menduga sejak lama bukan malah berdiam diri memandang layar handphone menunggu notifikasi mu.
Ah sudahlah.... Bukankah aku sudah memupuk rasa luka sedari awal lalu mengapa aku harus basah di bagian terakhir.
Sesekali aku harus belajar menjadi manusia biasa, wajar saja bila terluka wajar saja bila tidak baik-baik saja. Bahkan manusia terhebat di dunia pun pernah merengek-rengek kesakitan.
Sembuh itu butuh waktu tidak ada yang tahu dan tidak juga direncanakan. Sesekali rasa luka itu perlu dinikmati untuk menjadikan kita lebih bijak lebih berpikir dan membiarkan diri untuk memilih. Boleh saja untuk beristirahat boleh saja untuk menyerah, tidak ada sesuatu yang patah dan tidak tumbuh. Kau hanya perlu memulai kembali.
Menghapus segala pesan yang tersemat, mencari rumah ternyaman, atau mengangkat tangan untuk sekedar berdoa agar diberi keajaiban, kuharap aku bisa memilih semuanya.
Ayolah hentikan isakan tangis mu bukankah itu terlalu berisik dan mengganggu?
Dia bukan pilihan ganda pada kertas ujian mu, kau tak perlu pusing untuk memikirkannya bahkan jika kau tidak memilih salah satu diantaranya, tak apa Tuhan tak akan memarahimu.
Untuk sembuh memang tidak bisa terburu-buru, Tapi juga jangan berlama-lama mengenang seseorang yang memang tidak ditakdirkan untukmu.







"Tidak harus sembuh sekarang tapi harus bisa"
















Tentangmu dan segala isinya

1. 2021 Kadang, aku terjebak dalam kenangan tahun itu, Hujan deras, bayanganmu mulai memudar. Aku menawarkan payung, namun kau terlalu jauh,...